Tuesday 22 April 2014

Sepotong Kisah dari Kuala Gigieng

BY Unknown IN No comments

Photo by: Miftahul Jannah Yusuf
Bantaran tepi kuala menjadi saksi kebersamaan kami. Saat terik itu, pasir yang tersembul di sisi kuala gigieng menjadi potret yang kami bidik. Sesaat menyeruak tanya yang bersusulan dalam bicara; obrolan seputar fakta kehidupan nelayan di sana. Adalah aku dan Mita, kawan karib yang lebur dalam suasana siang bersama beberapa nelayan di sana.

Siang itu, aku ‘memaksanya’ pergi ke sebuah perkampungan nelayan, nun jauh dari pusat kota pelajar; tempat kami berada. Siang itu ia sedang rehat, menghabiskan hari di rumah. Aku mengajaknya menikmati siang yang terik, 'menyabotasenya' pada aktivitas yang mencekik. Ya, aku punya sebuah deadline liputan yang harus ku tuntaskan, merampungkan sebuah tulisan tentang perubahan iklim.

“Tah, lagi dimana? Kawanin aku ke Lambada Lhok, yok..” Tanpa rasa bersalah, SMS itu terlayang ke handphone milik Mita.

“Di rumah. Yok..” Singkat, namun berarti. Setidaknya beberapa potong kata itu membuatku  menyunggingkan sebuah senyum, sungguh senyum yang tak kenal malu.

Ia duduk di belakangku. Motor hitam ku lenggangkan dari gelanggang kampus, pergi ke Lambada lhok. Sesaat ketika sampai di sana, kami menemui seorang nelayan yang sibuk mengasah batu. Tak ada ikan yang dipajang di tempat pendaratan ikan itu. Ia mempersilakan kami menemui beberapa karibnya yang sedang menikmati kopi siang di sebuah warung berkonstruksi kayu di tepi kuala.

Menyeruput kopi menjadi aktifitas nelayan siang itu. Mereka tidak melaut karena kecamuk alam sedang tidak bersahabat. Lebih tepatnya, mereka tidak bisa melaut karena alur kemudi kapal tidak bisa dilalui. Pasir kian memadati isi kuala, kapal pun enggan bergerak melaluinya.

Mita membidikkan lensa kamera DSLR ke arahku. Sesekali ia melirik ke sisi lain kuala yang panoramanya sangat memanjakan mata. Gelak tawaku bertemu dengan senyumnya, seorang teman yang bijak bersahaja. Mita memang tak banyak bicara, namun ekspresi wajahnya menyibak banyak petuah bijak.

Mita melempar pandang ke arah kuala lekat-lekat. Aku sadar memboyongnya ke tempat sejauh ini pasti membuatnya lelah. Namun pendar senyumnya tetap tersungging, ia tak bergeming dari aktifitas memotret, tetap
menemaniku mewawancara. Ia sungguh banyak membantu, bahkan lebih dari yang ku harapkan.

“Jangan lupa tanyakan umur,” bisiknya pelan. Instruksi itu sungguh membantu pekerjaanku.

Aku mengenal Mita melalui sebuah lembaga Pers. Beberapa bulan rasanya cukup memberikan banyak arti pada persahabatan kami. Buah pikir dan canda banyak tertuang pada keseharian yang terlalui. Aku mengenal Mita lebih dari apa yang terlihat dari penampilannya yang bersahaja. Bahkan ketika aku menemaninya ke Rumah
Sakit Jiwa, (tapi bukan jadi pasien yaa) ia tampak sebagai sosok sahabat yang sabar. Mita mendapat tugas meliput kisah keluarga pasien RSJ yang merupakan seorang mahasiswa. Sungguh sulit kami temui, namun ia tak menyerah. Beberapa kali kami kunjungi Rumah sakit itu.

Kembali ke Kuala Gigieng. Seorang bapak, ku taksir umurnya lebih dari setengah abad, sekitar 70-an, mengaku sulit mencari nafkah akibat kondisi yang tidak bersahabat. Aku runut mencatat apa yang ia utarakan sementara Mita ikut menyimak. Derita si Bapak bahkan dimulai jauh sebelum orde baru. Ia mengaku dulu tidak hanya kekurangan pangan, namun juga kurang sandang untuk dilabuhkan di tubuh. Bayangkan saja, tanpa pakaian, pastilah tubuh akan dikuliti rasa dingin dan panas. Tubuh menjadi kebal akan setiap musim.

Ia juga bercerita, dirinya kerap menggantung harapan pada calon legislatif yang kerap menemuinya menjelang pemilu. Namun ia merasa lelah, usainya perhitungan suara pasca pemilu seolah menyudahi janji-janji perubahan itu. Ia juga banyak berkisah tentang pengalamannya membaca cuaca. 

Pria lain yang usianya menginjak kepala tiga juga mengulas kisahnya yang apik dikemas dengan bahasa yang bersahabat. Benarlah sudah ungkapan itu. Bangsa ini memang cerdas beramah tamah dengan tamu, tak terkecuali bapak yang kami temui itu. Ia mengaku, kadang ketika ia sulit melaut, tak ada apa pun yang bisa dibawa pulang. Tingginya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pun membuatnya harus menghemat. Penghasilannya yang terbilang puluhan ribu membuatnya harus menyicil minyak yang ia ambil di kios desa. Pun, terkadang kisahnya tak sampai di situ. Ia harus menunda niatnya pulang menemui anak dan istri jika air pasang enggan bertamu ke kuala mereka. Ia harus menunggu air pasang satu-dua malam, agar dapat memboyong kapalnya mendarat ke pinggir kuala.

Sesi obrolan santai bersama nelayan pun selesai. Aku dan Mita berbalik pergi, membawa sejumput harapan nelayan di sana.

“Da, kita ke sana, yuk,” Telunjuk Mita mengarah ke sederet pohon Pinus. Ia mengajakku pergi ke area bebatuan di sisi kiri kuala; sebuah tempat dimana kau akan menemukan paduan pohon bakau, perumahan penduduk, pohon pinus, laut, dan pegunungan.

Aku dan Mita menaiki tembok untuk dapat menembus masuk ke arah bebatuan yang terikat di pinggir kuala. Aku melalui alur batu tajam itu perlahan. Sesaat ada pesawat yang melalui area ‘jajahan’ kami.

“Ta, foto taa..” Pekikku girang. Mita menurut pintaku. Ia memotret momen itu dengan baik.Oh, sungguh karib yang sangat memesona. Hehe, what a really good friend. ^^

Bukan cerita biasa, begitulah kesanku melalui hari di Kuala Gigieng, Lambada Lhok, Aceh Besar. Tidak hanya kisah setia seorang Mita namun juga kisah mereka para nelayan. Mereka mengajarkan bagaimana bersahabat dengan kondisi yang pelik, menuai solusi menghadapi hidup yang sulit. Harapku, semoga kehadiran kami lebih dari menampung aspirasi, namun juga dapat mempengaruhi hati para petinggi negri yang (mungkin) membaca tulisan kami (yang alhamdulillah dimuat di tabloid DETaK edisi 35).

Lebih dari itu, kisah cinta di Kuala Gigieng menjadi pelajaran berharga yang ku dapat. Betapa besar perjuangan seorang ayah menghidupi anak-anaknya, gambaran kesabaran dari sebuah keluarga yang tetap hidup dalam cinta  meski dengan berbagai keterbatasan. Juga, Kuala Gigieng menjadi saksi kerasnya kehidupan rakyat yang kepentingannya termajinalkan.   

[]

0 komentar: