Friday 21 March 2014

Meraup Rupiah dalam Amukan Laut

BY Unknown IN No comments

             
            Semilir angin di daerah Lambada Lhok begitu sejuk. Puluhan kapal kecil berukuran 7x2 meter terparkir rapi di tepi Kuala Gigieng. Satu dua kapal tampak terparkir di tengah kuala karena terjebak pasir yang tampak tersembul di permukaan air.

            Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lambada Lhok yang berada di jalan Laksamana Malahayati Km. 10, hari itu tampak sepi. Selain tak terlihat adanya ikan segar yang didaratkan, transaksi jual beli ikan pun tampak ‘mati’ di pasar yang berada di kecamatan Baitussalam, Aceh Besar itu.

            Di samping PPI itu, beberapa nelayan terlihat duduk santai sambil menyeruput segelas kopi di sebuah warung kopi kecil. Dari warung berkonstruksi kayu itu, terlihat jelas panorama kuala Gigieng yang diliputi pohon bakau di sisi kanan, pohon cemara di depan mata dan perumahan penduduk di sisi kiri. Pemandangan hijau itu terasa memanjakan mata.

            Sebagian mereka sedang "libur" melaut karena cuaca ekstrim tengah melanda lautan lepas di samudera. “Sekarang lagi musim angin timur. Mulai Desember 2013 hingga bulan Januari 2014. Memang bisa melaut, namun pendapatan kurang. Daripada merugi, lebih baik kami menunda mencari ikan,” ujar Zainuddin, salah seorang nelayan yang duduk di warung tersebut.

            Memang, Zainuddin kadang tetap melaut. Tapi hanya sebentar dan jaraknya hanya tiga sampai empat kilometer dari bibir pantai. Oleh sebab itu, untuk kebutuhan hidup selama tidak melaut, ayah dua anak ini terpaksa mencari kepiting, tiram, juga mengandalkan pukat darat di bibir pantai.
            “Kalau cuaca bagus, biasanya saya peroleh 200-300 ribu per hari, namun jika tidak, hanya Rp 50 ribu per hari. Itupun masih kotor," jelas pria yang telah menjalani profesi nelayan selama 18 tahun ini, Kamis, 30 Januari 2013, lalu.
            Berdasarkan pengakuan nelayan di sana, jika cuaca bagus, hasil melaut  selama sehari bisa mendapat tangkapan sebanyak 50 kilogram. Tapi, bila tiga hari, hasil tangkapan bisa berkali lipat, 200 hingga 300 kg ikan.
            Hal yangs ama diungkap Syamsuddin (70 tahun). Pria yang sudah 30 tahun lebih melaut ini mengaku kondisi angin sekarang sulit ditebak. Kalau dulu, kondisi cuaca buruk, kita menunggu 3-4 hari baru stabil kembali cuacanya. Kalau sekarang, terkadang cuaca buruk bisa berbulan-bulan.

            Ia juga menyebutkan bahwa perubahan terasa setelah tsunami. Dulu, angin timur hanya enam bulan dan angin barat enam bulan. Sementara sekarang, pola angin menjadi tidak menentu. Bahkan angin barat sampai delapan bulan lamanya.

            Kondisi angin yang tidak stabil juga brimplikasi pada keadaan ikan. Udara tidak bagus sehingga ikan enggan naik ke permukaan. Imbuh warga desa Lambada Lhok itu, pelan.

            Kondisi sulit ini sangat dirasakan Zainuddin, Syamsudin dan puluhan nelayan di Kuala Gigieng. Karena, Selama melaut, mereka harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bahan bakar. Sedikitnya dibutuhkan 35 liter per hari dengan harga per liternya Rp. 6000. Terkadang mereka harus berhutang untuk memperoleh bahan bakar. Bisa dibayangkan, bila tidak melaut, dari mana mereka memperoleh uang untuk membeli minyak kapal. Jadi tak mengherankan jika banyak nelayan menanggung hutang yang tak berkesudahan.

            Masalah lain yang menghimpit penghasilan nelayan Lambada Lhok adalah kuala yang dangkal karena banyaknya pasir. Para nelayan harus menunggu air pasang naik untuk bisa dilintasi kapal.

            Dulu, sebut Zainuddin, sebelum tsunami, banyak kapal motor besar yang merapat di PPI Lambada Lhok. PPI Lambada memiliki alur khusus bagi kapal untuk mendarat dari muara laut. Kini, kapal hanya bisa melewati alur tersebut di waktu dan kondisi tertentu.

          Ada 100 lebih kapal di sini. Namun ada yang mendarat di muara kuala di dekat laut. Tidak bisa masuk ke kawasan ini karena tidak ada alur masuk. Jalur  tertimbun pasir. Kalau kuala mengering waktu malam, harus tunggu pagi ketika air pasang," ungkap pria tamatan setingkat SMP ini.

            Akibatnya, jika ada nelayan yang ingin membawa pulang hasil tangkapan ketika jam delapan pagi, namun harus menunggu hingga jam dua siang karena kapal tidak bisa melaui kuala tersebut. Tak pelak, ikan tangkapan tak dapat segera dijual. Konsekuensinya, harga ikan menjadi tidak stabil. Contohnya, harga ikan tongkol ukuran kecil, harganya seribu rupiah per ikan. Namun jika pendapatan nelayan sedikit, per ekornya bisa mencapai lima ribuan. 

            Cuaca buruk tak hanya berpengaruh pada pendapatan nelayan. Tidak jarang, kapal nelayan hancur karena kuatnya arus laut. Jika sudah seperti ini, nelayan pun hanya bisa berdoa agar selamat dan tidak meninggal di lautan lepas. Sebagaimana yang pernah dialami Bahagia (30 tahun).

            Saat angin timur dan arus laut bertabrakan. Hal tersebut hampir membuat kapal rusak. Ketika itu, yang dapat kami lakukan adalah pasrah dan berdoa, kisah pawang laot yang telah melaut sejak tahun 2001 ini. (Baca: Ketika Nyawa Menjadi Taruhan--red).
            Pengalamannya sebagai pawang laot, membuat Bahagia memiliki  pengetahuan perihal cuaca. Ia bisa mengenal pola-pola cuaca berbekal naluri dan pengetahuan yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Ketika bulan menginjak hari ke-15, kondisi laut tenang. Ujar Bahagia berbagi pengetahuannya.

            Beberapa nelayan mengaku menentukan cuaca dengan prediksi sendiri tanpa bantuan pihak terkait yang menangani perikal iklim. Tidak ada pemberitahuan dari lembaga tertentu perihal cuaca yang tidak boleh melaut.


            Dewasa ini, kondisi yang dialami oleh Zainuddin, Syamsuddin, Bahagia dan nelayan lainnya merupakan hal yang lumrah terjadi perihal peubahan iklim. Kondisi ekstrem yang merupakan implikasi dari pemanasan global kerap terjadi dan mengancap perekonomian masyarakat, tak terkecuali nelayan, yang mencari nafkah dengan bergantung pada keadaan cuaca. Untuk melenggang lepas mengarungi lautan, mereka harus melihat waktu yang tepat untuk berlayar. Jika memang laut cuaca sedang tak memihak, nelayan menunggu amukan laut meredam, demi meraup beberapa rupiah untuk mengekal perut. ***

0 komentar: