Saturday 11 January 2014

Ini Bukan Bom!

BY Unknown IN No comments




Seorang anak terlihat melintasi trotoar jalan raya. Kakinya yang tak beralas perlahan berjalan menyusuri jalan raya yang padat. Kemacetan yang panjang menjadi rezeki nomplok baginya. Hari ini ia dapat puluhan lembar uang yang beragam warnanya. Beberapa lembar uang di selipkan ke kantong celana, dan beberapa recehan dibiarkan tertinggal di kaleng uang. profesinya menjadi peminta-minta sudah dilakoninya sejak kecil. Di usianya yang menginjak 10 tahun, seharusnya ia mengecap pendidikan di bangku sekolah, mendengarkan ilmu ini dan itu. Namun justru sebaliknya. Ia melalui hari-harinya mendengarkan celotehan orang-orang 'beruang' atau pun amarah pemilik 'usaha' tempat ia bekerja, bila tak berhasil membawa pulang 'koin-koin emas' dari jalanan.

 "Hoi, Son! kau ini, setoran kacau kali!! masak cuman segini? apa perlu aku gebukin, biar orang iba? lantas aku kaya raya? besok malam, kalau aku jemput di persimpangan, aku mau liat, uang merah bergambar Soekarno.. ngertii??" bentak Bang Boy, seorang petinggi di 'perusahaan swasta' tempat Son bekerja.
"Soekarno itu siapa ya, Bang? tanya Son dengan mata berbinar, tanda ingin tahu.
"Soekarno aja kau tak tahu? hahaha. Soekarno itu proklamator kemerdekaan kita, Son. Ku ulangi lagi, PROKLAMATOR KEMERDEKAAN. Proklamator kemerdekaan bangsa. Ah.. Percuma ku bilang. Kau pun tak mengerti. Aku gini-gini pernah sekolah walau pun sampe kelas 4 SD. Kau pun. Ah, Masak itu aja nggak tahu, Haahaha. Udah, sekarang masuk ke dalam. Besok shubuh kau harus kerja lagi. Persimpangan menunggu kau, Son!" ujar bang Boy sembari melotot ke arahnya.

 Son mengangguk pelan tanda mengerti. Wajahnya nampak tegar, namun sebenarnya hatinya terbakar amarah. Marah, bukan karena kondisi pelik yang dihadapinya. Marah, bukan karena kata-kata bang Boy yang tajam. Batinnya meledak-ledak karena kata-kata Proklamator Kemerdekaan. Dua kata yang membuat tidur malamnya menjadi tak nyenyak.

 "Hey.. dilarang meminta-minta di sini. Ini sekolah, bukan pasar."
"Pak, maaf. Saya ingin bertemu pak Guru."
"Tidak bisa. Pak Guru sedang mengajar."
"Tapi, Pak.."
"Sudah-sudah. Pergi sana."

Tangan Son menggepal geram. Mahalnya harga seragam membuatnya tak bisa bertemu seorang guru. Menginjak halaman sekolah saja tak bisa. Ia duduk di depan gerbang sekolah, menunggu seorang guru, yang bahkan tak bisa dibayangkan bagaimana orangnya.

"Kamu ngapain, duduk di situ? nanti dikira kamu ngemis lagi." kata pak Dul, seorang penjual cendol yang terlihat sibuk membungkus cendol dagangannya.
"Mau ketemu guru, pak. Saya mau tanya, prolamator kemerdekaan itu apa? Soekarno itu siapa? dan..."
"Nak, kalau mau tanya begituan, kamu harus duduk di ruang sana. Di bangku sekolah. Oya, nanti penjaga keamanan yang tadi datang lagi ke sini. Saya sarankan kamu segera pergi sebelum kamu di tegur lagi. Coba adik pergi ke loper koran di lampu merah sana, mungkin dia tahu."
"Iya, makasih, Pak"

Son pun pergi dari sekolah itu dengan banyak pertanyaan yang menari-nari di kepalanya. Siang yang terik tak membuat semangatnya surut meski ia tak punya topi dan alas kaki. Ia melangkah cepat menuju ke persimpangan. Namun kali ini tidak untuk mengemis. Hari ini ia lari dari tugasnya untuk mengemis.   Lembaran uang yang ia simpan dari hasil mengemis kemarin, rasanya cukup untuk menyelamatkan dirinya dari amarah bang Boy.

"Bang, saya mau tanya. Soekarno itu siapa, bang? Pelopor kemerdekaan itu bagaimana?" 
"Haha. Kenapa tanyanya gitu,dek? Kamu sakit atau salah makan?"
"Saya hanya ngin tahu, Bang,"
"Nggak sanggup aku, pertanyaanmu itu susah,"
"Tapi, abang kan loper koran, pasti bisa baca,"
"Dek, pendidikan itu bukan milik anak jalanan. Ada memang satu-dua sekolah gratis. Tapi mana bisa aku sekolah. Kapan aku kerja, kapan sekolah. Haha. yakin aku, kau pasti salah minum obat ni.. Sekarang, coba pergi ke gedung itu, di sana kau akan dapat jawabannya. Lagi ada jurnalis di sana."
"Jurnalis itu nama orang ya, bang? dimana saya bisa temui? apa bisa sekarang?"
"Sudah, aku lagi kerja. cepat ke gedung itu saja, ada sekelompok wartawan yang lagi nunggu pak mentri keluar,"
"Oh makasih, Bang,"

Segenggam harapan baru membuatnya bersemangat. Ia mempercepat langkahnya menuju sekelompok jurnalis yang sedang duduk di depan sebuah kantor. Perlahan ia pun menghampiri mereka. Beberapa langkah lagi, rasa penasarannya akan terobati. Hanya beberapa langkah lagi.

"Itu bapak menteri sudah keluar! Ayo, kita ke sana!" ujar salah seorang wartawan.

Sekelompok orang yang disebut jurnalis itu berlalu pergi, meninggalkan Son bersama harapannya yang mulai pupus. Mereka tidak melihat Son. Posisi son memang sudah dekat, namun percuma saja. Son bersembunyi di balik pohon besar. Ia takut melangkah. 
Hari pun mulai gelap. Matahari hendak meninggalkan siang. Azan magrib pun mulai berkumandang. Son tak tahu harus kemana. Ia benci rasa penasaran. Ia harus segera menemukan jawabannya. Jika tidak, lelap tidur Son akan terusik dengan pertanyaan yang menghantui. 

Rasa putus asa membuat Son  terus berjalan hingga tersesat.  Son tak tahu jalan, selain jalan dari rumah bang Boy menuju tempat kerjanya.
Kakinya terus melangkah hingga sampai ke depan sebuah masjid. Kedua kaki kecilnya kini berdiri tegap diantara kaki-kaki lain yang berdiri rapi. Meski Son tak bisa baca dan tulis, namun ia bisa shalat dan hafal beberapa bacaan shalat. Seorang Ustadz pernah ia temui karena ia penasaran dengan kata shalat yang dilontarkan oleh seorang pedagang.

 "Kenapa kedainya tutup, bang?"
"Kni waktu shalat jum'at dek, nggak boleh jualan.

Setelah shalat, Son kembali melangkah, berjalan mencari jawaban. Namun dari tadi pagi, tak ada sebutir nasi pun yang masuk ke perutnya. Ia lalu menyusuri beberapa rumah makan di pinggir jalan. Ia pun masuk dan memesan sepiring nasi. Lima lembar uang bergambar Pattimura ia keluarkan.

"Ini uangnya, kak,"
"Kok cepat sekali bayar, dik? belum makan kan?"
"Saya takut, kalau saya tak bayar sekarang, apa yang saya makan nanti tidak baik bagi tubuh saya kak,"
"Mengapa begitu?"
"Saya tidak mau berhutang kak,"

 Ia mengenal sosok orang di uang itu lagi-lagi dari bang Boy. Bang Boy pernah menyuruhnya menukar uang bergambar Pattimura dengan uang bergampar Otto Iskandar di kedai. Bang Boy memang suka menyebut nominal uang dengan gambar yang tertera di uang tersebut. Pengetahuan yang diperolehnya di bangku SD dulu hampir seluruhnya diaplikasikan. Bang Boy juga terkadang mengajarkan bagaimana tata krama, seperti tidak buang sampah sembarangan, tidak datang terlambat, dan lainnya. Meski pun nada dengan suaranya yang tinggi dan emosinya sering meledak-ledak, berbagai petuah diucapkannya. 

Son juga belajar banyak dari lingkungan jalanan, yang mungkin secara tidak langsung mendidiknya. Dulu sewaktu bayi hingga berusia 5 tahun,  ia dibawa mengemis oleh seorang ibu yang mengajarkan pendidikan karakter yang baik padanya. Hanya satu sikap yang kurang baik, kebergantungan ibu tersebut pada profesi mengemis.

 "Negeri ini memang krisis kepercayaan. Aku bosan lihat spanduk kampanye itu,"
"Iya lah, 'orang-orang besar' itu banyak yang sudah terbukti melakukan korupsi,"
"Kasihan anak-anak mereka, makan dengan hasil 'rampokan' uang rakyat. Rezeki yang tidak halal,"
"Iya, mereka kenyang, tapi mereka lapar,"

Ketika makan, ia mendengar percakapan dua pemuda yang makan di meja sebelahnya.Setelah bulir-bulir terakhir nasi di piringnya habis, ia pun menghampiri mereka.

"Bang, Maaf. Tadi saya mendengar percakapan abang. Dimana saya bisa temui orang-orang besar itu?"
"Hahaha.. Ngapain kamu, mau digebukin?"
"Orang-orang besar itu orang yang badannya besar ya, bang?"
"Bukan dek, perutnya yang besar. Suka makan uang rakyat. Hahaha. Tapi ada juga pejabat yang jujur dan memperjuangkan nasib rakyat."
"Pejabat itu dimana bang?"
"Ya di rumahnya, lah. hahahahaha"
"Maaf bang, rumahnya dimana, ya?"
"Itu-tu,yang pagarnya tinggi. Rumah mewah itu rumah dinas mereka."
"Oh, begitu bang."
"Oya bang, satu lagi. Soekarno itu siapa? proklamator kemerdekaan itu bagaimana?"
"Itu artinya, orang yang mewakili rakyat mengumumkan kemerdekaan Indonesia, Soekarno adalah bapak yang mewakili rakyat mencapai kata merdeka. Kalau ingin merdeka, ya harus diungkapkan kepada dunia melalui proklamasi."
"Ooh begitu, bang. Terima kasih bang."
"Bukan apa-aapa dik. Bilang makasih sama orang yang berjasa, kami tidak memberi banyak hal."
"Iya pokoknya makasih ya bang. Saya permisi"

 Son terlihat puas dengan jawaban beberapa pemuda yang diantaranya menyebut dirinya adalah mahasiswa. Namun, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang baru.

"Kak, pesan nasinya sebungkus lagi ya. Pakai kotak ya, kak."
"Iya dik."
"Ohiya kak, kakak pandai menulis?"
Bisa, dik."
"Tolong tuliskan beberapa kalimat untuk saya. Nanti saya beritahu kak."

Son melangkah menuju rumah berpagar tinggi yang dikatakan oleh kelompok pemuda tadi. Suasana rumah terlihat lenggang. Berkali-kali ia mengetuk pintu namun tak ada yang menjawab. Ia pun masuk, dan meletakkan nasi bungkus yang dibelinya tadi di depan pintu rumah mewah itu. Tak ada orang di sana, namun lampu terlihat menyala dari dalam rumah.   

Setelah itu Son keluar dari perkarangan rumah. Selang beberapa menit, ia tiba-tiba ditangkap oleh sekelompok orang bersenjata lengkap. Beberapa orang lainnya terlihat masuk ke perkarangan rumah dengan pakaian lengkap. Wajah mereka tertutup pengaman wajah. Mereka mengamankan bungkusan nasi yang dibawa Son tadi dengan sangat hati-hati. 

"Amankan dia, bawa masuk mobil,"
"Pak, ada apa? Saya mau dibawa kemana?"
"Maaf, dik. Kami harus memeriksa apa yang adik bawa tadi. Rumah ini sedang diteror. Ada kemungkinan rumah ini mendapat kiriman bom,"
"Tapi, Pak. saya tidak bawa bom. Saya.."
"Adik bisa jelaskan nanti di sana,"

Jiwa Son berkecambuk. Ia tak terima dengan situasi ini. Ia tak bersalah namun dianggap bersalah. Son ingin berteriak dengan lantang. Namun jiwanya kecut. Ia tak kecut dengan senjata. Ia tenggelam dalam rasa bersalah terhadap dirinya sendiri yang tak bisa bicara. Tak bisa menyatakan kebenaran. Namun tak lama  setelah beberapa ratus meter mobil itu melaju, Son pun mencoba melawan. 

"Pak, ini bukan bom. hanya sebungkus nasi. ini saya hadiahkan untuk pejabat yang tinggal di sana. Sayaa ingin..”

“Jelaskan ini nanti” seorang berpakaian serba hitam berpengaman wajah melototi Son dengan nada bicara setengah membentak.
"Ini bukaan BOM, Pak!”

Sesuatu yang tajam keluar secara spontan dari kantong depan seragam salah seorang pria bertubuh tegap itu.

‘Tup.’
Benda runcing itu dipaksa masuk ke kulit Son. Cairan bening dalam tabung suntik berukuran kecil itu perlahan mengalir masuk ke dalam kulit lusuh Son. Tubuhnya mulai melemah, terjerembab di sudut mobil. Suara Son lirih perlahan menghilang bersama angin malam yang berhembus melalui sela jendela mobil yang tidak tertutup rapat. Beberapa anak sungai mengalir dari pelupuk mata Son yang mulai tertutup. Tangannya yang sedari tadi tergepal menggenggam sesuatu, mulai merenggang. Selembar kertas putih yang telah remuk terjatuh dari telapak tangannya. Ya, kertas putih. Saksi bisu yang dapat mengatakan bahwa itu bukan bom.

***



0 komentar: