Saturday 11 January 2014

Shalat yang Tertinggal

BY Unknown IN , No comments

Matahari telah meninggi naik memancarkan sinar siang yang terik. Burung-burung telah lama meninggalkan sarang. Kokok ayam di pagi hari sudah tidak terdengar lagi. Hanya dengkuran keras Danil, seorang mahasiswa sebuah universitas swasta, yang terdengar berkolaborasi dengan bunyi alarm. Tepat pukul 11, Danil belum bangun juga. kupingnya yang tersumpal Headset dengan lagu rock membuatnya tidak mendengar suara alarm. Jangankan jam alarm, panggilan azan pun tak digubrisnya. Ia terlelap setelah menghabiskan malam yang panjang bersama tugas akhirnya, ya, skripsinya yang ditargetkan selesai secepatnya.

 Sesaat kemudian, Danil terbangun ketika mendengar beberapa ketukan pintu yang keras.
"Assalamu'alaikum, Nil. Oy, ada di dalam? Jawab aku, aku dobrak pintunya ataau.."
"Nggak usah lebay gitu. Biasa aja. Kenapa, Dit?"
"Dosen pembimbingmu, Nil. Aku tadi ke jurusan. Aku ketemu beliau. Beliau mau ke luar negri. Kau harus menemuinya hari ini. Beliau siang ini ada di kampus."
"Oke. Anything else?"
"Nothing, Masbro. Ah kau, obsesi belajar bahasa. Obsesi kali kau ke barat. haha.. okelah aku tunggu kau 15 menit lagi. Kita barengan ke kampus ya".

Adalah Adit, teman kuliah Danil yang sejak SMP menjadi teman dekat Danil. Mereka seolah tak terpisahkan. Menghabiskan masa SMP hingga kuliah bersama, di jurusan dan lmbaga pendidikan yang sama. Tidak hanya kamar kos mereka yang  bersampingan, rumah mereka di kampung pun juga berdampingan.

"Nanti kalau kita sudah tamat kuliah dan berkeluarga, kau jangan buat rumah di samping rumah aku, oke?" Ucap Adit ketika berjalan menuju kampus sembari melihat ke arah rumah susun yang mereka tempati di ujung jalan.
"Haha.. siapa pula yang berminat jadi tetanggamu. Manusia dan tempat di  bumi ini masih banyak. Lagian aku juga mau tinggal di Amerika, buat rumah produksi musik di sana. Lah, kau? Kan kau bilang mau kembali ke kampung."
"Oya, Nil. Aku tadi pagi ada telpon, bangunin kau shalat shubuh. Trus kau malah nyanyi rock. Suaranya pelan siih."
"Masa iya? Aku nggak sadar tuh"
"Iya, Dit. Kau betul-betul bicara.Tapi ada yang aneh dengan isi nyanyianmu. Semacam ada pesan-pesan apaa gitu. Kau bilang.."

Kring-kring. Terdengar suara Avenged Sevenfold bernyanyi di handphone milik Danil.
"Halo, Danil? Saya sekarang di jurusan. kamu ingat kan, hari ini deadline kamu konsultasi?" sebuah suara bersahajapenuh perhatian menggema di telinga Danil.
"Baik, Pak. Terima kasih, Pak."
Sembari mematikan handphone, Danil mempercepat langkahnya.
"Dit, aku duluan ya."
"Oke, aku juga mau ke arah pustaka ni. proposal pembangunan sekolah rakyat gagasanku itu belum cukup data. Oya, ntar setelah konsultasi, kau bantu aku translate ke bahasa inggris ya. Hehe. oke, Just go a head." Ujar Adit dengan logat Acehnya yang kental.
"Of course, I'll help. See ya!"

Danil berlalu menuju jurusan sementara Adit menuju pustaka. Langkah kaki mereka tertapak sempurna di atas tanah yang lembab karena hujan semalam. Langkaah kaki Danil yang mantap dan optimi dengan skripsinya, dan langkah kaki Adir yang mantap dengan proposal sekolah rakyat gagasannya.

"Skripsi kamu sudah bagus. Secara keseluruhan nyaris sempurna. Sejak kapan kamu mulai mengumpulkan data?"
"Sejak semester 1, saya telah menyusun skripsi, Pak. Mereka yang membantu saya selama 8 semester ini adalah teman-teman saya, Pak."
"Maksud kamu, ini bukan sepenuhnya hasil usaha kamu sendiri?"
"Iya, Pak. Saya punya tim khusus yang membantu saya dalam mengerjakan skripsi saya, Pak. Awalnya mereka saya paksa untuk bisa membantu saya. wal hasil, meski tak saya bayar sepeser pun, mereka mau membantu saya menyelesaikannya."
"Jujur, saya kecewa dengan keputusan kamu, Nil. Bapak mohon, kamu ceritakan dengan detail. Bapak tidak ingin kamu menjadi tidak jujur hanya karena beban tugas akhir."
"Saya berteman dengan kerja keras, semangat tanpa menyerah, dan obsesi terhadap mimpi, Pak."
"Hahaha.. oke. Kamu ada-ada saja. Saya paham sekarang. Lantas bagaimana dengan doa? Jangan lupa berdoa. usaha tanpa doa itu sombong, lho. Ini, Skripsi kamu sudah cleardengan saya. Ayo, kita ke masjid. Adzan Ashar sudah berkumandang."
"Iya, Pak. Saya.. mm, saya.. Bapak ke Masjidnya duluan saja. Saya sedang menunggu Adit, Pak."
"Adakah panggilan yang lebih baik selain Adzan? Ayo.. Kita Shalat dulu, ajak Adit juga ke sini."

Seusai shalat, hujan lebat mengguyur seisi kota. Danil tak bisa pulang. Ia harus menunggu hujan reda di masjid berdesain arsitektur Oman tersebut.

"Nil, habis magrib nanti kita bisa pulang ya. Adzan Magrib cuma beberapa menit lagi"
"Aku nggak bisa pulang nanti, Dit. Aku shalat di sana saja. Kasihan kucingku, dia belum makan."
"Oh, tenang. Ada si Haris yang kasih makan. Sudah ku telpon tadi. Miris juga lihat kucing impor kau itu. Majikannya sibuk siih. Nil, tapi magribnya beberapa menit lagi, lho. Mana ada angkutan umum jam segini. Rumah kita jauh, Nil."
"Aku tak akan menyerah sebelum kucoba."
"Nil, imam shalatnya ini suaranya mantap, lho! Enak kali. Hehehe. Rugi kalau kau tinggalkan."
"Kau di sini mau shalat atau mau dengar suara imam shalat? Jangan paksa aku. Aku harus pergi, Dit."
"Oke, hati-hati di jalan. Kalau beli nasi bungkus ntar kita makan bareng di rumah ya. Aku lagi krisis moneter nih."
"Fine, Asal dengan satu syarat. Kau tak boleh sok ngajarin aku lgi, sok cari alasan agar aku mau ke masjid, dan jangan protes apa pun lagi. Cukup, Dit. Kita berteman sejak lama dan aku nggak mau kita rusak gara-gara hal sepele kayak gini.
"Maaf, Nil. Aku tak mau kau.."
"Cukup. Kau sudah cukup menakutiku dengan cerita ngigau ala rock tadi pagi. Cukup sudah."
"Tapi, Nil.."
"Cukuup!"

Tampak mata Adit berkaca-kaca, namun Danil segera berlalu meninggalkannya. Setelah beberapa langkah kaki Danil menapak ke luar pagar Masjid, sebuah mobil menghampirinya. Mobil berplat merah itu sepertinya tak asing baginya. Ya, itu adalah mobil Pak Salim, dosen pembimbing Danil.

"Ayo, naik. cepat. Hujannya sudah semakin deras. Nanti Kamu basah kuyup, Nak."
"Saya suka hujan, Pak."
"Sudah lah. Ayo, cepat naik. Bentar lagi magrib." 

Mobil pun segera melaju dengan kecepatan tinggi. Di dalam mobil, Danil menghapus air di wajahnya yang basah. Matanya yang merah menunjukkan bahwa sepertinya mata Danil pun baru saja turun hujan. Danil memang sering begitu. Ia ingin menjadi sosok yang tegar. Sejak kecil, ia sering menangis dalam hujan yang lebat. Berteriak kencang melompat-lompat seolah kegirangan meyambut hujan. Padahaal saat itu hatinya didera rasa sedih yang begitu pilu.

"Kamu kenapa?"
"Danil ingin.."
"Ke Amerika?"
"Bukan, Pak."
"Lantas kenapa? Saya amati skripsi kamu tadi sudah baik dan tidak ada koreksi lagi."
"Saya ingin kembali, Pak. Ya, saya ingin kembali."
"Oke, bapak kembali ke masjid tadi sekarang. Sebenarnya bapak magrib ini mau jamaah di Masjid kubah Emas. Tapi tak mengapa."

Shalat magrib pun dimulai. Para jamaah shalat berdiri rapi. Danil dan Pak Salim tertinggal shalat berjama'ah. Mereka tiba di masjid saat jamaah shalat sudah rakaat terakhir. Dalam shalatnya, Danil mendengar keributan kecil selang beberapa shaf di depannya.

"Ya Allah, Adit. Jamaah, imam kita rebah. Ayo.. kita bantu."
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Adit sudah tiada."

Danil tersentak mendengar nama sahabat yang telah 10 tahun bersamanya itu disebut. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. Adit imam? Sejak kapan? Adit mengapa? Ia ingin berlari ke arah jamaah yang telah mengerumuni seseorang yang dipanggil Adit. Ia harus melanjutkan shalat. Ia harus kuat meski air mata terus mengalir. Ia tahu, ia tak boleh larut dalam berita duka itu. Ia harus melanjutkan shalat dengan menahan kepiluan itu. Ia mencoba memejamkan mata dan terus berusaha fokus bersujud menghadap-Nya. Danil kini tak lagi menginginkan hujansebagai tempat mengadu, kini hanya Allah semata yang ia tuju.
---oOo---

San Fransisco, 2009.
Adit, sekarang musim dingin, lho. Haha. Kau tak perlu bangunkan aku lagi. Dulu di Indonesia, musim hujan saja kau berkali-kali bangunkan aku shalat. Haha, sampai kau bilang aku ngigau lagi. Alhamdulillah aku sekarang punya dua ksatria kembar penjaga alarm di rumah. Kami setiap hari bertarung, siapa yang duluan menggedor-gedor pintu untuk shalat malam dan shubuh, dialah juaranya. memang menggelikan, terlebih saat ini usia mereka sudah 5 tahun. mendengar suara mereka yang masih cempreng meledekku mengingatkanku pada suaramu. Ups. Haha Sorry.. Nama si kembar jagoanku itu aku copy-paste dari namamu dikit ya, Dit. Hehe. Serasa kau mendadak populer, kan? 

Hey, Dit. Ingin rasanya kulempar bongkahan salju ini ke wajahmu. Aku tahu, kau hanya akan membalas gertakanku dengan leluconmu yang tak lucu bahkan terkadang kau hanya tersenyum. Kau tahu, aku benci senyum itu. Senyum yang dari kemarin dan sekarang, selalu buatku merindu.

Aku Sekarang buka rumah produksi di sini. eeits, jangan salah, bukan rumah produksi musik yang aku idam-idamkan dulu. Rumah tahfidz, Dit. Rumah al-Qur-an. Alhamdulillah, mimpimu sedikit-banyak sudah terwujud. Perihal rumah rakyat di kampung juga sudah dikoordinir oleh Haris. Adit, ingin rasanya mendengar suaramu saat menjadi imam dulu. Astaghfirullah. Mengapa rasa rinduku semakin tak wajar saja?

Ohya dit. Aku khilaf. Kegagalanku dulu akan kuperbaiki. Alhamdulillah Allahu akbar, Aku telah mengqadza shalat-shalat yang telah aku tinggalkan dulu. Ku ucapkan ribuan terima kasih, hobimu menceramahiku dulu telah membuatku meresap sedikit banyak ilmu tentang Islam.

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi wa'fu 'anhu. Salam kangen dari sahabatmu yang akan menyabet gelar Doktor besok. heh, sori aku pamer. haha.       ---DANIL---

"Pa, nulis suratnya udah selesai?"
"Sudah, Nak. Ini bukan surat biasa. Doa dan curahan hati papa untuk sahabat papa yang udah menang jadi ksatria."
"Wah, Papa dan sahabat papa memang selalu keren. Pa, Mama bilang Papa mau ke masjid. Didit ikut ya, Pa."
"Iya, Imam kecil. Kita ke masjid bersama."
"Pa, tapi Bang Radit ngga mau ikut tuh."
"Eh Radit. Nggak ke masjid itu bukan ksatria namanya. Katanya kamu ksatria. Haha, gimana, didit?
"Rusak kali, Pa. Ksatria boongan nih, si abang."
"Hha, Radit ikut kok, Pa, Dek. Tapi Radit mau buat PR dulu, niih. Besok kumpulnya."
"Dan akhirnya sang ksatria pun kalah o.."
"Oh No. Enough, Papa. Stop, Pa.. Radit tahu. Gimana, Didit? kita mulai motto kita?
"Oke, Bang."
"Sang ksatria sejati tak pernah kalah oleh dirinya sendiri. Apa pun rintangannya, shalat tetap nomor satu."

---oOo---

Hilda Rahmazani- 25/11/2013

0 komentar: