Semilir angin di daerah Lambada Lhok begitu sejuk. Puluhan kapal kecil berukuran 7x2 meter terparkir rapi di tepi Kuala Gigieng. Satu dua kapal tampak terparkir di tengah kuala karena terjebak pasir yang tampak tersembul di permukaan air.
Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lambada Lhok yang berada
di jalan Laksamana Malahayati Km. 10, hari itu tampak sepi. Selain tak terlihat
adanya ikan segar yang didaratkan, transaksi jual beli ikan pun tampak ‘mati’
di pasar yang berada di kecamatan Baitussalam, Aceh Besar itu.
Di samping PPI itu, beberapa nelayan terlihat duduk santai
sambil menyeruput segelas kopi di sebuah warung kopi kecil. Dari warung
berkonstruksi kayu itu, terlihat jelas panorama kuala Gigieng yang diliputi
pohon bakau di sisi kanan, pohon cemara di depan mata dan perumahan penduduk di
sisi kiri. Pemandangan hijau itu terasa memanjakan mata.
Sebagian mereka sedang "libur" melaut karena
cuaca ekstrim tengah melanda lautan lepas di samudera. “Sekarang lagi musim
angin timur. Mulai Desember 2013 hingga bulan Januari 2014. Memang bisa melaut,
namun pendapatan kurang. Daripada merugi, lebih baik kami menunda mencari
ikan,” ujar Zainuddin, salah seorang nelayan yang duduk di warung tersebut.
Memang, Zainuddin kadang tetap melaut. Tapi hanya
sebentar dan jaraknya hanya tiga sampai empat kilometer dari bibir pantai. Oleh
sebab itu, untuk kebutuhan hidup selama tidak melaut, ayah dua anak ini
terpaksa mencari kepiting, tiram, juga mengandalkan pukat darat di bibir
pantai.
“Kalau cuaca bagus, biasanya saya peroleh 200-300 ribu
per hari, namun jika tidak, hanya Rp 50 ribu per hari. Itupun masih
kotor," jelas pria yang telah menjalani profesi nelayan selama 18 tahun
ini, Kamis, 30 Januari 2013, lalu.
Berdasarkan pengakuan nelayan di sana, jika cuaca bagus,
hasil melaut selama sehari bisa mendapat
tangkapan sebanyak 50 kilogram. Tapi, bila tiga hari, hasil tangkapan bisa
berkali lipat, 200 hingga 300 kg ikan.
Hal yangs ama diungkap Syamsuddin (70 tahun). Pria yang
sudah 30 tahun lebih melaut ini mengaku kondisi angin sekarang sulit ditebak. “Kalau dulu, kondisi cuaca buruk, kita menunggu 3-4 hari
baru stabil kembali cuacanya. Kalau sekarang, terkadang cuaca buruk bisa
berbulan-bulan.”
Ia juga
menyebutkan bahwa perubahan terasa setelah tsunami. Dulu, angin timur hanya
enam bulan dan angin barat enam bulan. Sementara sekarang, pola angin menjadi
tidak menentu. Bahkan angin barat sampai delapan bulan lamanya.
Kondisi
angin yang tidak stabil juga brimplikasi pada keadaan ikan. “Udara tidak bagus sehingga ikan enggan naik ke permukaan.” Imbuh warga desa Lambada Lhok itu, pelan.
Kondisi
sulit ini sangat dirasakan Zainuddin, Syamsudin dan puluhan nelayan di Kuala
Gigieng. Karena, Selama melaut, mereka harus mengeluarkan uang yang tidak
sedikit untuk bahan bakar. Sedikitnya dibutuhkan 35 liter per hari dengan harga
per liternya Rp. 6000. Terkadang mereka harus berhutang untuk memperoleh bahan
bakar. Bisa dibayangkan, bila tidak melaut, dari mana mereka memperoleh uang
untuk membeli minyak kapal. Jadi tak mengherankan jika banyak nelayan
menanggung hutang yang tak berkesudahan.
Masalah
lain yang menghimpit penghasilan nelayan Lambada Lhok adalah kuala yang dangkal
karena banyaknya pasir. Para nelayan harus menunggu air pasang naik untuk bisa
dilintasi kapal.
Dulu,
sebut Zainuddin, sebelum tsunami, banyak kapal motor besar yang merapat di PPI
Lambada Lhok. PPI Lambada memiliki alur khusus bagi kapal untuk mendarat dari
muara laut. Kini, kapal hanya bisa melewati alur tersebut di waktu dan kondisi
tertentu.
“Ada 100 lebih kapal di sini. Namun ada yang mendarat di
muara kuala di dekat laut. Tidak bisa masuk ke kawasan ini karena tidak ada
alur masuk. Jalur tertimbun pasir. Kalau
kuala mengering waktu malam, harus tunggu pagi ketika air pasang," ungkap
pria tamatan setingkat SMP ini.
Akibatnya,
jika ada nelayan yang ingin membawa pulang hasil tangkapan ketika jam delapan
pagi, namun harus menunggu hingga jam dua siang karena kapal tidak bisa melaui
kuala tersebut. Tak pelak, ikan tangkapan tak dapat segera dijual.
Konsekuensinya, harga ikan menjadi tidak stabil. Contohnya, harga ikan tongkol
ukuran kecil, harganya seribu rupiah per ikan. Namun jika pendapatan nelayan
sedikit, per ekornya bisa mencapai lima ribuan.
Cuaca
buruk tak hanya berpengaruh pada pendapatan nelayan. Tidak jarang, kapal
nelayan hancur karena kuatnya arus laut. Jika sudah seperti ini, nelayan pun
hanya bisa berdoa agar selamat dan tidak meninggal di lautan lepas. Sebagaimana
yang pernah dialami Bahagia (30 tahun).
“Saat angin timur dan arus laut bertabrakan. Hal tersebut
hampir membuat kapal rusak. Ketika itu, yang dapat kami lakukan adalah pasrah
dan berdoa,” kisah pawang laot yang
telah melaut sejak tahun 2001 ini. (Baca: Ketika Nyawa Menjadi Taruhan--red).
Pengalamannya
sebagai pawang laot, membuat Bahagia memiliki
pengetahuan perihal cuaca. Ia bisa mengenal pola-pola cuaca berbekal
naluri dan pengetahuan yang diwarisi dari generasi sebelumnya. “Ketika bulan menginjak hari ke-15, kondisi laut tenang.” Ujar Bahagia berbagi pengetahuannya.
Beberapa
nelayan mengaku menentukan cuaca dengan prediksi sendiri tanpa bantuan pihak
terkait yang menangani perikal iklim. Tidak ada pemberitahuan dari lembaga
tertentu perihal cuaca yang tidak boleh melaut.
Dewasa
ini, kondisi yang dialami oleh Zainuddin, Syamsuddin, Bahagia dan nelayan
lainnya merupakan hal yang lumrah terjadi perihal peubahan iklim. Kondisi
ekstrem yang merupakan implikasi dari pemanasan global kerap terjadi dan
mengancap perekonomian masyarakat, tak terkecuali nelayan, yang mencari nafkah
dengan bergantung pada keadaan cuaca. Untuk melenggang lepas mengarungi lautan,
mereka harus melihat waktu yang tepat untuk berlayar. Jika memang laut cuaca
sedang tak memihak, nelayan menunggu amukan laut meredam, demi meraup beberapa
rupiah untuk mengekal perut. ***
0 komentar:
Post a Comment