Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Saturday, 11 January 2014

Shalat yang Tertinggal

BY Unknown IN , No comments

Matahari telah meninggi naik memancarkan sinar siang yang terik. Burung-burung telah lama meninggalkan sarang. Kokok ayam di pagi hari sudah tidak terdengar lagi. Hanya dengkuran keras Danil, seorang mahasiswa sebuah universitas swasta, yang terdengar berkolaborasi dengan bunyi alarm. Tepat pukul 11, Danil belum bangun juga. kupingnya yang tersumpal Headset dengan lagu rock membuatnya tidak mendengar suara alarm. Jangankan jam alarm, panggilan azan pun tak digubrisnya. Ia terlelap setelah menghabiskan malam yang panjang bersama tugas akhirnya, ya, skripsinya yang ditargetkan selesai secepatnya.

 Sesaat kemudian, Danil terbangun ketika mendengar beberapa ketukan pintu yang keras.
"Assalamu'alaikum, Nil. Oy, ada di dalam? Jawab aku, aku dobrak pintunya ataau.."
"Nggak usah lebay gitu. Biasa aja. Kenapa, Dit?"
"Dosen pembimbingmu, Nil. Aku tadi ke jurusan. Aku ketemu beliau. Beliau mau ke luar negri. Kau harus menemuinya hari ini. Beliau siang ini ada di kampus."
"Oke. Anything else?"
"Nothing, Masbro. Ah kau, obsesi belajar bahasa. Obsesi kali kau ke barat. haha.. okelah aku tunggu kau 15 menit lagi. Kita barengan ke kampus ya".

Adalah Adit, teman kuliah Danil yang sejak SMP menjadi teman dekat Danil. Mereka seolah tak terpisahkan. Menghabiskan masa SMP hingga kuliah bersama, di jurusan dan lmbaga pendidikan yang sama. Tidak hanya kamar kos mereka yang  bersampingan, rumah mereka di kampung pun juga berdampingan.

"Nanti kalau kita sudah tamat kuliah dan berkeluarga, kau jangan buat rumah di samping rumah aku, oke?" Ucap Adit ketika berjalan menuju kampus sembari melihat ke arah rumah susun yang mereka tempati di ujung jalan.
"Haha.. siapa pula yang berminat jadi tetanggamu. Manusia dan tempat di  bumi ini masih banyak. Lagian aku juga mau tinggal di Amerika, buat rumah produksi musik di sana. Lah, kau? Kan kau bilang mau kembali ke kampung."
"Oya, Nil. Aku tadi pagi ada telpon, bangunin kau shalat shubuh. Trus kau malah nyanyi rock. Suaranya pelan siih."
"Masa iya? Aku nggak sadar tuh"
"Iya, Dit. Kau betul-betul bicara.Tapi ada yang aneh dengan isi nyanyianmu. Semacam ada pesan-pesan apaa gitu. Kau bilang.."

Kring-kring. Terdengar suara Avenged Sevenfold bernyanyi di handphone milik Danil.
"Halo, Danil? Saya sekarang di jurusan. kamu ingat kan, hari ini deadline kamu konsultasi?" sebuah suara bersahajapenuh perhatian menggema di telinga Danil.
"Baik, Pak. Terima kasih, Pak."
Sembari mematikan handphone, Danil mempercepat langkahnya.
"Dit, aku duluan ya."
"Oke, aku juga mau ke arah pustaka ni. proposal pembangunan sekolah rakyat gagasanku itu belum cukup data. Oya, ntar setelah konsultasi, kau bantu aku translate ke bahasa inggris ya. Hehe. oke, Just go a head." Ujar Adit dengan logat Acehnya yang kental.
"Of course, I'll help. See ya!"

Danil berlalu menuju jurusan sementara Adit menuju pustaka. Langkah kaki mereka tertapak sempurna di atas tanah yang lembab karena hujan semalam. Langkaah kaki Danil yang mantap dan optimi dengan skripsinya, dan langkah kaki Adir yang mantap dengan proposal sekolah rakyat gagasannya.

"Skripsi kamu sudah bagus. Secara keseluruhan nyaris sempurna. Sejak kapan kamu mulai mengumpulkan data?"
"Sejak semester 1, saya telah menyusun skripsi, Pak. Mereka yang membantu saya selama 8 semester ini adalah teman-teman saya, Pak."
"Maksud kamu, ini bukan sepenuhnya hasil usaha kamu sendiri?"
"Iya, Pak. Saya punya tim khusus yang membantu saya dalam mengerjakan skripsi saya, Pak. Awalnya mereka saya paksa untuk bisa membantu saya. wal hasil, meski tak saya bayar sepeser pun, mereka mau membantu saya menyelesaikannya."
"Jujur, saya kecewa dengan keputusan kamu, Nil. Bapak mohon, kamu ceritakan dengan detail. Bapak tidak ingin kamu menjadi tidak jujur hanya karena beban tugas akhir."
"Saya berteman dengan kerja keras, semangat tanpa menyerah, dan obsesi terhadap mimpi, Pak."
"Hahaha.. oke. Kamu ada-ada saja. Saya paham sekarang. Lantas bagaimana dengan doa? Jangan lupa berdoa. usaha tanpa doa itu sombong, lho. Ini, Skripsi kamu sudah cleardengan saya. Ayo, kita ke masjid. Adzan Ashar sudah berkumandang."
"Iya, Pak. Saya.. mm, saya.. Bapak ke Masjidnya duluan saja. Saya sedang menunggu Adit, Pak."
"Adakah panggilan yang lebih baik selain Adzan? Ayo.. Kita Shalat dulu, ajak Adit juga ke sini."

Seusai shalat, hujan lebat mengguyur seisi kota. Danil tak bisa pulang. Ia harus menunggu hujan reda di masjid berdesain arsitektur Oman tersebut.

"Nil, habis magrib nanti kita bisa pulang ya. Adzan Magrib cuma beberapa menit lagi"
"Aku nggak bisa pulang nanti, Dit. Aku shalat di sana saja. Kasihan kucingku, dia belum makan."
"Oh, tenang. Ada si Haris yang kasih makan. Sudah ku telpon tadi. Miris juga lihat kucing impor kau itu. Majikannya sibuk siih. Nil, tapi magribnya beberapa menit lagi, lho. Mana ada angkutan umum jam segini. Rumah kita jauh, Nil."
"Aku tak akan menyerah sebelum kucoba."
"Nil, imam shalatnya ini suaranya mantap, lho! Enak kali. Hehehe. Rugi kalau kau tinggalkan."
"Kau di sini mau shalat atau mau dengar suara imam shalat? Jangan paksa aku. Aku harus pergi, Dit."
"Oke, hati-hati di jalan. Kalau beli nasi bungkus ntar kita makan bareng di rumah ya. Aku lagi krisis moneter nih."
"Fine, Asal dengan satu syarat. Kau tak boleh sok ngajarin aku lgi, sok cari alasan agar aku mau ke masjid, dan jangan protes apa pun lagi. Cukup, Dit. Kita berteman sejak lama dan aku nggak mau kita rusak gara-gara hal sepele kayak gini.
"Maaf, Nil. Aku tak mau kau.."
"Cukup. Kau sudah cukup menakutiku dengan cerita ngigau ala rock tadi pagi. Cukup sudah."
"Tapi, Nil.."
"Cukuup!"

Tampak mata Adit berkaca-kaca, namun Danil segera berlalu meninggalkannya. Setelah beberapa langkah kaki Danil menapak ke luar pagar Masjid, sebuah mobil menghampirinya. Mobil berplat merah itu sepertinya tak asing baginya. Ya, itu adalah mobil Pak Salim, dosen pembimbing Danil.

"Ayo, naik. cepat. Hujannya sudah semakin deras. Nanti Kamu basah kuyup, Nak."
"Saya suka hujan, Pak."
"Sudah lah. Ayo, cepat naik. Bentar lagi magrib." 

Mobil pun segera melaju dengan kecepatan tinggi. Di dalam mobil, Danil menghapus air di wajahnya yang basah. Matanya yang merah menunjukkan bahwa sepertinya mata Danil pun baru saja turun hujan. Danil memang sering begitu. Ia ingin menjadi sosok yang tegar. Sejak kecil, ia sering menangis dalam hujan yang lebat. Berteriak kencang melompat-lompat seolah kegirangan meyambut hujan. Padahaal saat itu hatinya didera rasa sedih yang begitu pilu.

"Kamu kenapa?"
"Danil ingin.."
"Ke Amerika?"
"Bukan, Pak."
"Lantas kenapa? Saya amati skripsi kamu tadi sudah baik dan tidak ada koreksi lagi."
"Saya ingin kembali, Pak. Ya, saya ingin kembali."
"Oke, bapak kembali ke masjid tadi sekarang. Sebenarnya bapak magrib ini mau jamaah di Masjid kubah Emas. Tapi tak mengapa."

Shalat magrib pun dimulai. Para jamaah shalat berdiri rapi. Danil dan Pak Salim tertinggal shalat berjama'ah. Mereka tiba di masjid saat jamaah shalat sudah rakaat terakhir. Dalam shalatnya, Danil mendengar keributan kecil selang beberapa shaf di depannya.

"Ya Allah, Adit. Jamaah, imam kita rebah. Ayo.. kita bantu."
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Adit sudah tiada."

Danil tersentak mendengar nama sahabat yang telah 10 tahun bersamanya itu disebut. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. Adit imam? Sejak kapan? Adit mengapa? Ia ingin berlari ke arah jamaah yang telah mengerumuni seseorang yang dipanggil Adit. Ia harus melanjutkan shalat. Ia harus kuat meski air mata terus mengalir. Ia tahu, ia tak boleh larut dalam berita duka itu. Ia harus melanjutkan shalat dengan menahan kepiluan itu. Ia mencoba memejamkan mata dan terus berusaha fokus bersujud menghadap-Nya. Danil kini tak lagi menginginkan hujansebagai tempat mengadu, kini hanya Allah semata yang ia tuju.
---oOo---

San Fransisco, 2009.
Adit, sekarang musim dingin, lho. Haha. Kau tak perlu bangunkan aku lagi. Dulu di Indonesia, musim hujan saja kau berkali-kali bangunkan aku shalat. Haha, sampai kau bilang aku ngigau lagi. Alhamdulillah aku sekarang punya dua ksatria kembar penjaga alarm di rumah. Kami setiap hari bertarung, siapa yang duluan menggedor-gedor pintu untuk shalat malam dan shubuh, dialah juaranya. memang menggelikan, terlebih saat ini usia mereka sudah 5 tahun. mendengar suara mereka yang masih cempreng meledekku mengingatkanku pada suaramu. Ups. Haha Sorry.. Nama si kembar jagoanku itu aku copy-paste dari namamu dikit ya, Dit. Hehe. Serasa kau mendadak populer, kan? 

Hey, Dit. Ingin rasanya kulempar bongkahan salju ini ke wajahmu. Aku tahu, kau hanya akan membalas gertakanku dengan leluconmu yang tak lucu bahkan terkadang kau hanya tersenyum. Kau tahu, aku benci senyum itu. Senyum yang dari kemarin dan sekarang, selalu buatku merindu.

Aku Sekarang buka rumah produksi di sini. eeits, jangan salah, bukan rumah produksi musik yang aku idam-idamkan dulu. Rumah tahfidz, Dit. Rumah al-Qur-an. Alhamdulillah, mimpimu sedikit-banyak sudah terwujud. Perihal rumah rakyat di kampung juga sudah dikoordinir oleh Haris. Adit, ingin rasanya mendengar suaramu saat menjadi imam dulu. Astaghfirullah. Mengapa rasa rinduku semakin tak wajar saja?

Ohya dit. Aku khilaf. Kegagalanku dulu akan kuperbaiki. Alhamdulillah Allahu akbar, Aku telah mengqadza shalat-shalat yang telah aku tinggalkan dulu. Ku ucapkan ribuan terima kasih, hobimu menceramahiku dulu telah membuatku meresap sedikit banyak ilmu tentang Islam.

Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi wa'fu 'anhu. Salam kangen dari sahabatmu yang akan menyabet gelar Doktor besok. heh, sori aku pamer. haha.       ---DANIL---

"Pa, nulis suratnya udah selesai?"
"Sudah, Nak. Ini bukan surat biasa. Doa dan curahan hati papa untuk sahabat papa yang udah menang jadi ksatria."
"Wah, Papa dan sahabat papa memang selalu keren. Pa, Mama bilang Papa mau ke masjid. Didit ikut ya, Pa."
"Iya, Imam kecil. Kita ke masjid bersama."
"Pa, tapi Bang Radit ngga mau ikut tuh."
"Eh Radit. Nggak ke masjid itu bukan ksatria namanya. Katanya kamu ksatria. Haha, gimana, didit?
"Rusak kali, Pa. Ksatria boongan nih, si abang."
"Hha, Radit ikut kok, Pa, Dek. Tapi Radit mau buat PR dulu, niih. Besok kumpulnya."
"Dan akhirnya sang ksatria pun kalah o.."
"Oh No. Enough, Papa. Stop, Pa.. Radit tahu. Gimana, Didit? kita mulai motto kita?
"Oke, Bang."
"Sang ksatria sejati tak pernah kalah oleh dirinya sendiri. Apa pun rintangannya, shalat tetap nomor satu."

---oOo---

Hilda Rahmazani- 25/11/2013

Ini Bukan Bom!

BY Unknown IN No comments




Seorang anak terlihat melintasi trotoar jalan raya. Kakinya yang tak beralas perlahan berjalan menyusuri jalan raya yang padat. Kemacetan yang panjang menjadi rezeki nomplok baginya. Hari ini ia dapat puluhan lembar uang yang beragam warnanya. Beberapa lembar uang di selipkan ke kantong celana, dan beberapa recehan dibiarkan tertinggal di kaleng uang. profesinya menjadi peminta-minta sudah dilakoninya sejak kecil. Di usianya yang menginjak 10 tahun, seharusnya ia mengecap pendidikan di bangku sekolah, mendengarkan ilmu ini dan itu. Namun justru sebaliknya. Ia melalui hari-harinya mendengarkan celotehan orang-orang 'beruang' atau pun amarah pemilik 'usaha' tempat ia bekerja, bila tak berhasil membawa pulang 'koin-koin emas' dari jalanan.

 "Hoi, Son! kau ini, setoran kacau kali!! masak cuman segini? apa perlu aku gebukin, biar orang iba? lantas aku kaya raya? besok malam, kalau aku jemput di persimpangan, aku mau liat, uang merah bergambar Soekarno.. ngertii??" bentak Bang Boy, seorang petinggi di 'perusahaan swasta' tempat Son bekerja.
"Soekarno itu siapa ya, Bang? tanya Son dengan mata berbinar, tanda ingin tahu.
"Soekarno aja kau tak tahu? hahaha. Soekarno itu proklamator kemerdekaan kita, Son. Ku ulangi lagi, PROKLAMATOR KEMERDEKAAN. Proklamator kemerdekaan bangsa. Ah.. Percuma ku bilang. Kau pun tak mengerti. Aku gini-gini pernah sekolah walau pun sampe kelas 4 SD. Kau pun. Ah, Masak itu aja nggak tahu, Haahaha. Udah, sekarang masuk ke dalam. Besok shubuh kau harus kerja lagi. Persimpangan menunggu kau, Son!" ujar bang Boy sembari melotot ke arahnya.

 Son mengangguk pelan tanda mengerti. Wajahnya nampak tegar, namun sebenarnya hatinya terbakar amarah. Marah, bukan karena kondisi pelik yang dihadapinya. Marah, bukan karena kata-kata bang Boy yang tajam. Batinnya meledak-ledak karena kata-kata Proklamator Kemerdekaan. Dua kata yang membuat tidur malamnya menjadi tak nyenyak.

 "Hey.. dilarang meminta-minta di sini. Ini sekolah, bukan pasar."
"Pak, maaf. Saya ingin bertemu pak Guru."
"Tidak bisa. Pak Guru sedang mengajar."
"Tapi, Pak.."
"Sudah-sudah. Pergi sana."

Tangan Son menggepal geram. Mahalnya harga seragam membuatnya tak bisa bertemu seorang guru. Menginjak halaman sekolah saja tak bisa. Ia duduk di depan gerbang sekolah, menunggu seorang guru, yang bahkan tak bisa dibayangkan bagaimana orangnya.

"Kamu ngapain, duduk di situ? nanti dikira kamu ngemis lagi." kata pak Dul, seorang penjual cendol yang terlihat sibuk membungkus cendol dagangannya.
"Mau ketemu guru, pak. Saya mau tanya, prolamator kemerdekaan itu apa? Soekarno itu siapa? dan..."
"Nak, kalau mau tanya begituan, kamu harus duduk di ruang sana. Di bangku sekolah. Oya, nanti penjaga keamanan yang tadi datang lagi ke sini. Saya sarankan kamu segera pergi sebelum kamu di tegur lagi. Coba adik pergi ke loper koran di lampu merah sana, mungkin dia tahu."
"Iya, makasih, Pak"

Son pun pergi dari sekolah itu dengan banyak pertanyaan yang menari-nari di kepalanya. Siang yang terik tak membuat semangatnya surut meski ia tak punya topi dan alas kaki. Ia melangkah cepat menuju ke persimpangan. Namun kali ini tidak untuk mengemis. Hari ini ia lari dari tugasnya untuk mengemis.   Lembaran uang yang ia simpan dari hasil mengemis kemarin, rasanya cukup untuk menyelamatkan dirinya dari amarah bang Boy.

"Bang, saya mau tanya. Soekarno itu siapa, bang? Pelopor kemerdekaan itu bagaimana?" 
"Haha. Kenapa tanyanya gitu,dek? Kamu sakit atau salah makan?"
"Saya hanya ngin tahu, Bang,"
"Nggak sanggup aku, pertanyaanmu itu susah,"
"Tapi, abang kan loper koran, pasti bisa baca,"
"Dek, pendidikan itu bukan milik anak jalanan. Ada memang satu-dua sekolah gratis. Tapi mana bisa aku sekolah. Kapan aku kerja, kapan sekolah. Haha. yakin aku, kau pasti salah minum obat ni.. Sekarang, coba pergi ke gedung itu, di sana kau akan dapat jawabannya. Lagi ada jurnalis di sana."
"Jurnalis itu nama orang ya, bang? dimana saya bisa temui? apa bisa sekarang?"
"Sudah, aku lagi kerja. cepat ke gedung itu saja, ada sekelompok wartawan yang lagi nunggu pak mentri keluar,"
"Oh makasih, Bang,"

Segenggam harapan baru membuatnya bersemangat. Ia mempercepat langkahnya menuju sekelompok jurnalis yang sedang duduk di depan sebuah kantor. Perlahan ia pun menghampiri mereka. Beberapa langkah lagi, rasa penasarannya akan terobati. Hanya beberapa langkah lagi.

"Itu bapak menteri sudah keluar! Ayo, kita ke sana!" ujar salah seorang wartawan.

Sekelompok orang yang disebut jurnalis itu berlalu pergi, meninggalkan Son bersama harapannya yang mulai pupus. Mereka tidak melihat Son. Posisi son memang sudah dekat, namun percuma saja. Son bersembunyi di balik pohon besar. Ia takut melangkah. 
Hari pun mulai gelap. Matahari hendak meninggalkan siang. Azan magrib pun mulai berkumandang. Son tak tahu harus kemana. Ia benci rasa penasaran. Ia harus segera menemukan jawabannya. Jika tidak, lelap tidur Son akan terusik dengan pertanyaan yang menghantui. 

Rasa putus asa membuat Son  terus berjalan hingga tersesat.  Son tak tahu jalan, selain jalan dari rumah bang Boy menuju tempat kerjanya.
Kakinya terus melangkah hingga sampai ke depan sebuah masjid. Kedua kaki kecilnya kini berdiri tegap diantara kaki-kaki lain yang berdiri rapi. Meski Son tak bisa baca dan tulis, namun ia bisa shalat dan hafal beberapa bacaan shalat. Seorang Ustadz pernah ia temui karena ia penasaran dengan kata shalat yang dilontarkan oleh seorang pedagang.

 "Kenapa kedainya tutup, bang?"
"Kni waktu shalat jum'at dek, nggak boleh jualan.

Setelah shalat, Son kembali melangkah, berjalan mencari jawaban. Namun dari tadi pagi, tak ada sebutir nasi pun yang masuk ke perutnya. Ia lalu menyusuri beberapa rumah makan di pinggir jalan. Ia pun masuk dan memesan sepiring nasi. Lima lembar uang bergambar Pattimura ia keluarkan.

"Ini uangnya, kak,"
"Kok cepat sekali bayar, dik? belum makan kan?"
"Saya takut, kalau saya tak bayar sekarang, apa yang saya makan nanti tidak baik bagi tubuh saya kak,"
"Mengapa begitu?"
"Saya tidak mau berhutang kak,"

 Ia mengenal sosok orang di uang itu lagi-lagi dari bang Boy. Bang Boy pernah menyuruhnya menukar uang bergambar Pattimura dengan uang bergampar Otto Iskandar di kedai. Bang Boy memang suka menyebut nominal uang dengan gambar yang tertera di uang tersebut. Pengetahuan yang diperolehnya di bangku SD dulu hampir seluruhnya diaplikasikan. Bang Boy juga terkadang mengajarkan bagaimana tata krama, seperti tidak buang sampah sembarangan, tidak datang terlambat, dan lainnya. Meski pun nada dengan suaranya yang tinggi dan emosinya sering meledak-ledak, berbagai petuah diucapkannya. 

Son juga belajar banyak dari lingkungan jalanan, yang mungkin secara tidak langsung mendidiknya. Dulu sewaktu bayi hingga berusia 5 tahun,  ia dibawa mengemis oleh seorang ibu yang mengajarkan pendidikan karakter yang baik padanya. Hanya satu sikap yang kurang baik, kebergantungan ibu tersebut pada profesi mengemis.

 "Negeri ini memang krisis kepercayaan. Aku bosan lihat spanduk kampanye itu,"
"Iya lah, 'orang-orang besar' itu banyak yang sudah terbukti melakukan korupsi,"
"Kasihan anak-anak mereka, makan dengan hasil 'rampokan' uang rakyat. Rezeki yang tidak halal,"
"Iya, mereka kenyang, tapi mereka lapar,"

Ketika makan, ia mendengar percakapan dua pemuda yang makan di meja sebelahnya.Setelah bulir-bulir terakhir nasi di piringnya habis, ia pun menghampiri mereka.

"Bang, Maaf. Tadi saya mendengar percakapan abang. Dimana saya bisa temui orang-orang besar itu?"
"Hahaha.. Ngapain kamu, mau digebukin?"
"Orang-orang besar itu orang yang badannya besar ya, bang?"
"Bukan dek, perutnya yang besar. Suka makan uang rakyat. Hahaha. Tapi ada juga pejabat yang jujur dan memperjuangkan nasib rakyat."
"Pejabat itu dimana bang?"
"Ya di rumahnya, lah. hahahahaha"
"Maaf bang, rumahnya dimana, ya?"
"Itu-tu,yang pagarnya tinggi. Rumah mewah itu rumah dinas mereka."
"Oh, begitu bang."
"Oya bang, satu lagi. Soekarno itu siapa? proklamator kemerdekaan itu bagaimana?"
"Itu artinya, orang yang mewakili rakyat mengumumkan kemerdekaan Indonesia, Soekarno adalah bapak yang mewakili rakyat mencapai kata merdeka. Kalau ingin merdeka, ya harus diungkapkan kepada dunia melalui proklamasi."
"Ooh begitu, bang. Terima kasih bang."
"Bukan apa-aapa dik. Bilang makasih sama orang yang berjasa, kami tidak memberi banyak hal."
"Iya pokoknya makasih ya bang. Saya permisi"

 Son terlihat puas dengan jawaban beberapa pemuda yang diantaranya menyebut dirinya adalah mahasiswa. Namun, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang baru.

"Kak, pesan nasinya sebungkus lagi ya. Pakai kotak ya, kak."
"Iya dik."
"Ohiya kak, kakak pandai menulis?"
Bisa, dik."
"Tolong tuliskan beberapa kalimat untuk saya. Nanti saya beritahu kak."

Son melangkah menuju rumah berpagar tinggi yang dikatakan oleh kelompok pemuda tadi. Suasana rumah terlihat lenggang. Berkali-kali ia mengetuk pintu namun tak ada yang menjawab. Ia pun masuk, dan meletakkan nasi bungkus yang dibelinya tadi di depan pintu rumah mewah itu. Tak ada orang di sana, namun lampu terlihat menyala dari dalam rumah.   

Setelah itu Son keluar dari perkarangan rumah. Selang beberapa menit, ia tiba-tiba ditangkap oleh sekelompok orang bersenjata lengkap. Beberapa orang lainnya terlihat masuk ke perkarangan rumah dengan pakaian lengkap. Wajah mereka tertutup pengaman wajah. Mereka mengamankan bungkusan nasi yang dibawa Son tadi dengan sangat hati-hati. 

"Amankan dia, bawa masuk mobil,"
"Pak, ada apa? Saya mau dibawa kemana?"
"Maaf, dik. Kami harus memeriksa apa yang adik bawa tadi. Rumah ini sedang diteror. Ada kemungkinan rumah ini mendapat kiriman bom,"
"Tapi, Pak. saya tidak bawa bom. Saya.."
"Adik bisa jelaskan nanti di sana,"

Jiwa Son berkecambuk. Ia tak terima dengan situasi ini. Ia tak bersalah namun dianggap bersalah. Son ingin berteriak dengan lantang. Namun jiwanya kecut. Ia tak kecut dengan senjata. Ia tenggelam dalam rasa bersalah terhadap dirinya sendiri yang tak bisa bicara. Tak bisa menyatakan kebenaran. Namun tak lama  setelah beberapa ratus meter mobil itu melaju, Son pun mencoba melawan. 

"Pak, ini bukan bom. hanya sebungkus nasi. ini saya hadiahkan untuk pejabat yang tinggal di sana. Sayaa ingin..”

“Jelaskan ini nanti” seorang berpakaian serba hitam berpengaman wajah melototi Son dengan nada bicara setengah membentak.
"Ini bukaan BOM, Pak!”

Sesuatu yang tajam keluar secara spontan dari kantong depan seragam salah seorang pria bertubuh tegap itu.

‘Tup.’
Benda runcing itu dipaksa masuk ke kulit Son. Cairan bening dalam tabung suntik berukuran kecil itu perlahan mengalir masuk ke dalam kulit lusuh Son. Tubuhnya mulai melemah, terjerembab di sudut mobil. Suara Son lirih perlahan menghilang bersama angin malam yang berhembus melalui sela jendela mobil yang tidak tertutup rapat. Beberapa anak sungai mengalir dari pelupuk mata Son yang mulai tertutup. Tangannya yang sedari tadi tergepal menggenggam sesuatu, mulai merenggang. Selembar kertas putih yang telah remuk terjatuh dari telapak tangannya. Ya, kertas putih. Saksi bisu yang dapat mengatakan bahwa itu bukan bom.

***