Tuesday, 12 March 2019

Perpustakaan Unsyiah: Destinasi Wisata Literasi Aceh Masa Kini

BY Unknown IN , , , , , 4 comments

Aceh merupakan daerah yang berupaya bangkit dari keterpurukan konflik dan bencana dengan  membuka diri melalui pembangunan berbagai destinasi wisata. Museum Tsunami dan Kapal Apung menjadi 'daftar wajib kunjung' bagi wisatawan. Tarian saman dan ragam budaya menjadi tujuan wisata yang menawan. Pulau Sabang yang eksotis hingga destinasi wisata alam lainnya menjadi destinasi pilihan turis dunia. Ada hal lain yang tak boleh luput dari perhatian untuk diperkenalkan pada wisatawan. Aceh memiliki destinasi wisata literasi masa kini, UPT. Perpustakaan Universitas Syiah Kuala (selanjutnya disingkat Unsyiah), salah satu pustaka yang berjejar di antara pustaka lain yang berkelas di dunia. Perkembangan dan kemajuan Pustaka Unsyiah adalah spirit baru serta menjadi titik tolak menuju peradaban literasi dunia muslim layaknya Cordoba masa lalu.


Sumber: library.unsyiah.ac.id.


Destinasi wisata literasi kelas dunia sudah sepatutnya disematkan bersama nama Pustaka Unsyiah. Perpustakaan yang berdiri sejak 1970 ini setiap hari terus berinovasi bahkan komitmennya  menjadi terkemuka di Asia Tenggara sudah mulai terwujud. Ada alasan kuat mengapa Pustaka Unsyiah menjadi destinasi literasi Aceh Masa Kini, sebab Pustaka Unsyiah hadir dengan public service yang mobile dan berkelas, baik secara fasilitas  mau pun pelayanannya, baik koleksi berbentuk hardcopy bahkan hingga aplikasi pustaka bernama UILIS Unsyiah yang mengikuti perkembangan teknologi masa kini.



Dalam perkembangan peradaban literasi, sebenarnya Aceh sudah sejak dulu telah ikut serta memperkaya khazanah literasi nusantara. Ulama Aceh seperti Hamzah fansuri dan Syaikh Abdurrauf As-Singkili, seorang ulama yang disemat namanya, Syiah Kuala, untuk nama Universitas saat ini, telah jauh hari memberikan sumbangsih literasi dan menjadikan Aceh sebagai destinasi rujukan literasi Islam bahkan di Asia Tenggara. Saat ini Pustaka Unsyiah juga hadir sebagai destinasi literasi bagi para akademisi dalam negeri hingga manca negara. Berbagai prestasi dari segi sistem penjaminan mutu yang diperoleh dan jumlah pengunjung yang terus bertambah menunjukkan Pustaka Unsyiah saat ini menjadi Pustaka Perguruan tinggi yang dirujuk oleh Pustaka lainnya.

Pustaka Unsyiah telah mengantongi standar penilaian pustaka dari Pepustakaan Nasional Republik Indonesia dengan capaian akreditasi A bahkan berhasil pula memboyong sertifikasi kelas dunia. Pada tahun 2018 lalu, Pustaka Unsyiah menjadi satu-satunya PTN di Indonesia yang mengantongi ISO 27001 dalam lingkup Security Information Library System: OPAC, OER and Room Booking dari TUV Rheinland (lembaga sertifikasi) anggota DAkkS (Komite kreditasi Nasional Jerman). 


Berkaca pada sederat reputasi yang telah diperoleh, Pustaka Unsyiah telah dijamin mutunya oleh lembaga penjamin mutu internasional. ISO 27001:2013 mengindikasikan bahwa Pustaka Unsyiah memberikan jaminan pengendalian atas keamanan, kerahasiaan, dan ketersediaan layanan dengan mengamankan sumber daya informasi, menjalankan dua server redundant yang berlokasi di Banda Aceh dan Singapura yang slaing mereplikasi dan saling ambil alih secara otomatis jika ada gangguan pada salah satu server (Harian Serambi Indonesia, 16/8/2018). Sebelumnya juga Pustaka Unsyiah telah memperoleh sertifikasi penjaminn mutu ISO 9001:2015.


Tidak mengherankan jika pencapaian dalam hal keamanan ini  menjadi poin penting untuk memenuhi alasan mengapa Pustaka Unsyiah layak untuk dikunjungi bahkan menjadi objek studi banding dari pustaka lainnya. Pustaka Unsyiah saat ini menjadi destinasi literasi tidak hanya bagi civitas akademika Unsyiah namun juga bagi pengunjung luar kampus. Statistik pengunjung terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, tidak hanya pengunjung dari dalam negeri tetapi juga pengunjung dari berbagai negara.



Sumber: Instagram @upt_perpustakaan_unsyiah
Sumber: Instagram @upt_perpustakaan_unsyiah


Mulai dari literasi baca tulis hingga literasi digital, Pustaka Unsyiah punya semuanya. Jika menilik dari segi koleksi yang dimiliki, Pustaka Unsyiah saat ini telah menyimpan 136.925 eksemplar  tulisan tercetak (Sumber: library.unsyiah.ac.id, 2019). Tidak hanya itu, perpustakaan juga menyediakan literasi berbasis digital yang menyediakan e-journal dan e-book dari berbagai penerbit berlisensi.

Literasi berbasis digital juga menjadi inovasi yang telah lama dirambah oleh Pustaka Unsyiah. Melalui kanal uilis.unsyiah.ac.id., pengunjung dapat memperoleh berbagai bahan literasi di  UILIS (Unsyiah Integrates Library Information System). Klak klik sana sini, ETD, OPAC, Unsyiana, LSS dan fitur UILIS lainnya dapat diakses di mana pun, kapanpun. Begitu mudahnya berliterasi di portal aplikasi pustaka Unsyiah apalagi setelah Pustaka Unsyiah meluncurkan aplikasi UILIS berbasis android. Hal ini sangat bagus untuk para wisatawan yang ingin berliterasi via ponsel genggamnya. Mantap!

Sumber: library.unsyiah.ac.id

Kenyamanan pengunjung menjadi prioritas utama di Pustaka Unsyiah. Perpustakaan juga menerapkan aturan ketat seperti larangan membuang sampah dan larangan merokok dalam ruangan.  Tentu hal ini mencirikan bagaimana Pustaka Unsyiah begitu menjaga ranah adab dan etika. Hingga tidak heran, salah satu pepatah Arab al adaabu fauqal ‘ilmi, menjaga 'adab di atas ilmu' telah diimplementasikan dengan baik di sini. Hal ini membuat daya tarik bermuatan edukatif bagi pengunjung bahwa pustaka Unsyiah menjunjung tinggi nilai-nilai adab dan tentu ini memperlihatkan citra baik bagi Aceh yang mengimplementasikan Syariat Islam. Berdasarkan hal ini, pengunjung tentu akan merasa nyaman dan aman selama berada di pustaka. Tidak ada asap rokok berseliweran. Tidak ada sampah bertebaran. Tidak ada polusi suara selama di pustaka. Kenyamanan pengunjung selalu dinomorsatukan.

Agaknya Pustaka Unsyiah telah berhasil mematahkan argumen konvensional bahwa tidak boleh makan minum di pustaka. Jika dahulu banyak sekali pengunjung yang harus meninggalkan bahan bacaan saat ingin mengecap kopi yang harus dibeli dan diminum di luar pustaka. Namun Pustaka Unsyiah mengusung hal berbeda. life begins after coffee, istilah tersebut berlaku di sini. Saat mengunjungi pustaka  Unsyiah, pengunjung dapat berliterasi sambil ngopi. Begitu asyik, kan?


Sumber: Hipwee.com

Tentu hal ini pula yang akan menjadi daya tarik bagi wisatawan berkunjung ke Aceh beralasan ingin merasakan nikmatnya ngopi di Tanah Serambi Mekkah. Aceh pun saat ini dikenal dengan daerah 1001 warung kopi yang menyuguhkan kopi nikmat dengan harga bersahabat. Siapa sangka jika 'warung kopi' saat ini turut hadir di pustaka kampus jantong hatee rakyat Aceh. Jadi, tren baik berliterasi sambil ngopi sambil membangun jejaring dan menggali inspirasi dapat diwujudkan saat berkunjung ke mini cafe Pustaka Unsyiah.

Pustaka Unsyiah sesungguhnya telah memenuhi berbagai syarat yang dibutuhkan untuk menjadi  patut diperhitungkan sebagai destinasi wisata literasi Aceh masa kini. Mengintip gaya literasi modern ala pustaka unsyiah dari relax and easy yang menampilkan kreativitas mahasiswa di atas panggung hingga Unsyiah Library Fiesta 2019, even tahunan yang selalu dinantikan kehadirannya dan menjadi wadah kreativitas mahasiswa dalam berkarya.
Sumber: library.unsyiah.ac.id.


Pustaka Unsyiah juga begitu welcome menyambut pengunjung dari dunia nyata hingga dunia maya. Dari segi publikasi, Pustaka Unsyiah memiliki website library.unsyiah.ac.id. dan situs media sosial lainnya seperti facebook dan instagram yang update kegiatan pustaka setiap harinya. Jika ada masukan atau pertanyaan, admin selalu siap menjawab dalam waktu cepat. Akses informasi dan sosialisasi juga begitu baik dengan kehadiran UKM Literasi Informasi dan kehadiran Duta Baca Universitas Syiah Kuala.



Pecinta foto tentu sangat berbahagia berkunjung ke Pustaka Unsyiah. Pasalnya banyak spot yang sesuai untuk objek foto. Dinding-dinding pustaka dicat rapi dan berdesain modern. Ruang-ruang didekorasi penuh artistik. Pustaka Unsyiah juga menyediakan berbagai corner dari negara lain seperti korean corner yang menyediakan literasi budaya dari negeri ginseng.

Sumber: library.unsyiah.ac.id


Di Pustaka Unsyiah, tidak ada  tempat untuk laba-laba bersarang. Tidak ada buku-buku yang dijamah rayap. Buku-buku terus dijaga berjejar rapi oleh para staf khusus yang standby setiap hari. Fasilitas koneksi internet cepat dan fasilitas untuk melaksanakan ibadah dan kamar mandi selalu dijaga kebersihannya. Semua serba dijaga ketertiban, kerapian, dan kebersihannya hingga tidak heran jika mahasiswa betah berlama-lama duduk di Pustaka.


Sumber: library.unsyiah.ac.id


Dengan segala hal yang sudah disebutkan di atas, tentu sudah sepantasnya kita menjadikan Pustaka Unsyiah dalam daftar tempat wisata literasi yang wajib kita kunjungi. Marilah kita mendorong Pustaka Unsyiah agar selalu terdepan dalam fasilitas dan pelayanannya. Semoga peradaban Aceh ke depan dapat dibangun melalui kehadiran Pustaka Unsyiah sebagai destinasi wisata literasi kelas dunia.

Ditulis di Tanah Perjuangan Teuku Umar, 13 Maret 2019, oleh seorang ibu muda penggiat literasi, pembelajar seumur hidup bernama Hilda Rahmazani, alumnus PSPM FKIP Unsyiah 2017. Tulisan ini diikutsertakan pada lomba blog Unsyiah Library Fiesta 2019.



Sunday, 8 July 2018

Resep Kentang Goreng Krispi

BY Unknown No comments

Bahan-bahan:
2 Buah Kentang
2 Butir Bawang Putih, geprek
1 sdt Lada Bubuk
1 sdt Garam
4 sdm tepung maizena
Air untuk merebus
Air dingin secukupnya untuk merendam kentang

Cara Membuat:
1. Potong-potong kentang panjang lalu cuci bersih.
2. Siapkan air untuk merebus, rebus kentang selama 5-7 menit dan masukkan garam, lada, dan bawang putih yang sudah digeprek. Setelah kentang agak matang, tiriskan hingga kering.
3. Rendam kentang dalam air yang sudah dingin hingga suhu air normal. Lalu tiriskan kembali.
4. Siapkan tepung maizena, lada, dan garam lalu aduk rata semua bahan. Campurkan kentang hingga merata. Masukkan ke dalam kulkas.'
5. Goreng kentang hingga matang. Lezat dihidangkan saat hangat dengan saus tomat.

Note: Inspirasi Resep dari Cookpad  dengan modifikasi sesuai bahan dapur.


Sunday, 22 March 2015

Ketika Gema ‘Seulaweut’ Sampai ke Telinga Raja

BY Unknown IN No comments


Aceh, Bulan Ketiga, Maret 2015 Masehi

Puluhan tubuh berdesak-desakan merebut bu kulah di masjid desa itu. Tampak satu dua Ibu sudah berhasil memboyong dua nasi maulid dan datang tiga anak menghampiri Ibu-ibu itu dengan senyum lebar, tampak pula gigi seri mereka yang baru tanggal.

Sementara itu, anak-anak yang tak beribu terus saja berdesakkan, “Ayahwa, lon gohlom meuteumee (Pak, Saya belum dapat),”  tuturnya. Tetiba seorang berjanggut tebal menghampiri kerumunan bocah dan ibu-ibu itu. Ia menggendong satu Toa seraya berkata, “Geutanyo seulawet Ilee, jak meudikee mouled Ilee, entreuk baroe tapajoh bue khanduri (Kita Shalawat dulu, meudikee (berdzikir) maulid dahulu, baru kemudian kita makan kenduri maulid),” tegas pria berbaju gamis putih yang disebut warga sebagai Teungku Imuem itu.

antarafoto.com
Seketika kerumunan masyarakat bubar, duduk di bawah pokok pohon rindang di halaman masjid. Satu dua anak berkejar-kejaran di teras masjid, namun gelak tawa mereka tak terdengar sebab gema ‘dikee’ maulid begitu keras terdengar bahkan hingga beberapa kilometer.

---
Ilustrasi cerita di atas merupakan suatu perayaan yang kerap dilakukan oleh masyarakat Aceh; maulid. Demi merayakan maulid Nabi, masyarakat berekonomi menengah ke bawah pun bahkan rela merogoh dompet dalam-dalam, mengeluarkan seluruh daya upaya untuk merayakan hari ulang tahun Nabi itu. Bentuk perayaan adalah membagi-bagikan nasi  bungkus plus lauk yang lezat kepada khalayak, baik di rumah mau pun di masjid, baik dalam talam kecil maupun dalam bentuk ‘idang’ atau hidangan, baik dalam idang berukuran selutut hingga sebahu orang dewasa.

youtube.com

Perayaan maulid Nabi diisi dengan kegiatan berdzikir atau dalam bahasa Aceh disebut Meudikee. Meudikee merupakan bentuk dzikir yang dikumandangkan oleh grup dzikir dalam masjid. Terkadang pada malam hari, perayaan maulid diisi dengan ceramah agama oleh ‘teungku-teungku’ (dai) kondang. 

Sepotong kisah di atas merupakan tradisi yang sudah dilakukan dari generasi ke generasi di Aceh. Sudah seharusnya kita mengambil suatu kesempatan ‘bermaulid ria’ sembari mengingati  dan meneladani sang pemilik hari kelahiran tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Dalam rangka memperingati maulid Nabi, berikut satu hikmah yang akan saya paparkan tentang upaya Nabi menanamkan kalimat tauhid dalam hati manusia.


Masa lalu, Kota Makkah, 571-632 Masehi 

Ada suatu masa di malam itu muncul satu purnama benderang di kota makkah. Seisi alam terasa tenang, seolah bersiap menyambut penghulu alam lahir menerangkan kebenaran; kelahiran Nabi Allah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.  Kelahirannya disamput gegap gempita oleh sekalian alam namun tidak sedikit pula kaum kafir yang menentang kehadirannya.

Adalah dahulu ketika zaman hidupnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, masyarakat jahiliyah begitu fasih melantunkan berbagai syair-syair nan indah. Namun demikian, kebanyakan dari masyarakat suku Quraisy itu tidak bisa membaca dan menulis.
Seiring pesatnya perkembangan Islam, berbagai kemajuan dialami oleh masyarakat Quraisy, mereka kemudian peka terhadap perubahan dan kemudian masyarakat berupaya untuk belajar membaca dan menulis.

Upaya yang dikerahkan dalam menyebarkan dakwah Islam pun tak lagi secara lisan namun juga melalui tulisan. Melalui media surat-menyurat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus delegasi Beliau  Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menyampaikan surat cinta tentang seruan bertauhid kepada-Nya kepada beberapa petinggi negeri, kepada raja-raja yang belum beriman. Surat-surat tersebut Nabi dilayangkan kepada beberapa penguasa seperti Najasyi Raja Habasyah, Heraclius, Uskup Dhughatir, Muqauqis, Kisra (Raja Persia), Gubernur Kisra, Mundzir Bin Sawa Al Abdi, Raja Oman, Penguasa Yamamah, Haudzan, dan Raja-raja Yaman.


Surat-surat Rasullullah tersebut dikirimkan dengan tujuan menyerukan para Raja untuk bertauhid kepada Allah. Banyak penguasa yang menerima surat menjadi beriman setelahnya, namun ada pula yang tetap ingkar, bersikukuh menolak seruan tauhid dari Rasulullah, seperti Abrawiz seorang raja persia. 


Surat Nabi kepada Raja Persia bergelar Kisra, Abrawiz bin Hurmuz bin Anu Syirwan

Dalam buku berjudul “Surat-surat Nabi Muhammad" tulisan Khalid Sayyid Ali, surat kepada Raja Persia itu berisi, "Sesungguhnya Aku adalah Rasul Allah kepada seluruh umat manusia, supaya dapat memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup, dan supaya pasti ketetapan (azab) kepada orang-orang kafir. Masuklah Islam, kamu akan selamat. Bila kamu menolak, sesungguhnya kamu memikul dosa orang Majusi," demikian bunyi surat Rasul kepada Abrawiz. Namun surat Nabi tersebut dirobek-robek oleh Raja tersohor itu dan beberapa waktu kemudian Allah mengobrak-abrik pula kerajaan manusia yang menghina Nabi tersebut. 

Melalui satu contoh shirah Nabi ini, mari kita lihat bagaimana peran kita dalam mendakwahkan kebaikan, baik kepada sanak famili mau pun petinggi negeri. Di masa kini, konsep hidup seperti Rasulullah sudah mulai ditinggalkan. Ketika carut marut negeri semakin menjadi-jadi, berbagai teguran kepada petinggi negeri pun disampaikan. Namun, sudahkah cara menyampaikan aspirasi itu bersesuaian dengan cara yang diajarkan Nabi? Adakah esensi ''mengingat Nabi" yang kita sampaikan akan mengena di hati ketika cara yang kita lakukan adalah dengan caci-maki dan gaya penyampaian yang menyakiti?


Adapun hikmah bagi kita, seruan kebenaran seharusnya dapat disikapi dan diterima dengan kelapangan  dada dan segenap kegembiraan. Layaknya kemeriahan maulid yang merupakan tanda kebahagiaan umat menyambut Nabi, lewat cerita tentang surat-surat Nabi ini, selayaknya kita berkesiap menyambut Islam dengan penuh keridhaan dengan mengamalkan setiap perintah Allah dengan penuh keimanan. Jika kita ingkar, maka adzab yang pedih seperti cerita raja persia tadi akan menimpa kita, baik di dunia maupun di akhirat. 

Sebut saja hal-hal kecil seperti saat seseorang menengur saudaranya yang minum sambil berdiri. "Dek, jangan minum sambil berdiri!" tentunya berbeda intonasinya dengan kalimat "Dek, sini, minumnya duduk dekat kakak," Tentunya cara berdakwah seperti kandungan surah An-Nahl ayat 125 harus dapat dipahami dengan sebaik-baiknya agar apa yang disampaikan dapat diterima, tidak malah menyakitkan hati. Meski memang, semua hidayah adalah kehendak Allah, namun ikhyar dan doa harus selalu dilakukan.

Seriap seruan kebenaran yang sudah kita ketahui layaknya disebarluaskan, baik secara lisan maupun tulisan. Baik secara tatap muka mau pun secara maya. Baik secara berbicara langsung bahkan dengan cara 'mengudara' seperti ikhtiar untuk dakwah secara 'on air' oleh Radio Seulaweut.

Kembali ke Bulan Maret, 2015 M

Zaman kian berkembang, dari zaman Nabi yang menggunakan surat untuk bertukar khabar, hingga sekarang media internet dengan segala kecanggihan aplikasinya. Perbagai alat yang mempermudah pekerjaan diciptakan demi kehidupan yang lebuh luwes, mudah, dan cepat. Adalah teknologi bernama radio diciptakan oleh penemu asal Italia bernama Guglielmo Marconi (1874-1937). Penemuan Radionya yang dibantu dengan penemuan Heinrich Hertz(Joseph Henry), penemu gelombang elektromagnetik yang tak tampak oleh mata, bergerak lewat udara dengan kecepatan suara, telah berhasil mengubah media informasi yang disampaikan lewat tatap muka menjadi media yang menyampaikan berita meski berkilo-kilo jauh jaraknya.

Radio Seulaweut, 91 FM. Sumber : unguviolet9.blogspot.com

Sekelompok inisiator muda, Raihan Iskandar, dkk. saban waktu berinisiasi membuat suatu media informasi Islami di Aceh: Radio Seulaweut 91 FM. Radio Islami pertama di Serambi Makkah ini memiliki visi 3N (News, Nasyid dan Nida’). Radio Seulaweut 91 FM berupaya setiap harinya menyampaikan berbagai informasi yang bernilai kepada masyarakat dalam kemasan yang menghibur juga hiburan islami yang mengajak kepada kebaikan baik pribadi, keluarga maupun masyarakat, ini merupakan wujud misi Syiar Islam.

Kehadiran Radio Seulaweut ber-tagline ‘nyaman di hati, membuka cakrawala' ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya penyebaran ajaran Islam dan penguatan aqidah ummat. 

Sekelak aku langsung teringat pada cerita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyampaikan dakwah lewat tulisan tadi. Dalam komunikasi jarak jauh, beliau berupaya mengirimkan surat-surat kepada beberapa petinggi Negeri dengan harapan Agama Allah akan diterima dan diimani. Sementara masa kini, media radio yang penggunaannya sudah mencakup hingga ke pelosok desa pun dapat menjadi media yang tepat dalam belajar-mengajar agama.

Berkaca dari perayaan maulid, kuatnya dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan cerita dakwah dari Radio Seulaweut tadi, beberapa pertanyaan mendasar layaknya kita tanyakan pada diri masing-masing:
1. Sudah sejauh mana upaya kita sebagai Raja bagi diri sendiri dalam menerima dan mengamalkan esensi Tauhid yang diajarkan Nabi?
2. Bagaimanakah upaya kita sebagai Khalifah di muka bumi menggemakan ajaran Islam secara kaffah dan sepenuh hati?
3. Adakah terpatri dalam hati untuk meneladani Akhlakul Karimah Rasulullah hingga nadi tak berdetak lagi?
4. Sudahkahkah kita teguh berpegang pada dua pusaka yang ditinggalkan Nabi, AlQuran dan Assunnah?


Lebih lanjut, keberadaan Radio Seulaweut yang mencerahkan hati pendengar tentulah harus kita ambil ibrahnya seperti keberadaan shalawat atas junjungan alam, Nabi Muhammad SAW.yang eksistensinya merupakan doa, keberkahan, syafaat, dan keselamatan.

Dalam momen maulid ini, ada beberapa pertanyaan lagi yang ingin saya ajukan, terutama untuk diri sendiri: 

1. Berapa kali dalam sehari saya bershalawat kepada Nabi?
2. ketika Nama Nabi disebutkan dan terdengar oleh telinga, adakah saya menyebut Shalawat atas Nabi?
3. Ketika Penguasa mulai meninggalkan agama Allah, Sudahkah saya memperingatkan mereka untuk kembali "berseulaweut" semisal esensi Seulaweut yang mengudarakan kebajikan? 

Beberapa pertanyaan diatas haruslah kita jawab sebagai alat instropeksi diri. Tulisan ini saya peruntukkan untuk sekalian kaum muslimin, terutama saya telunjukkan untuk diri saya sendiri. Semoga ibrah dan hikmah dari tulisan ini dapat menjadi pengingat dan motivasi untuk iman dan islam yang lebih baik di masa kini dan nanti.[]




Selamat #Miladke8Seulaweut. Teruslah mengudara menyuarakan kebajikan :) 





 Sumber penunjang:
http://www.radioseulaweut.com/2012/12/profile-radio-seulaweut.html diakses pada 23 Maret 2015
http://harmadipedia.blogspot.com/2013/07/surat-surat-nabi-muhammad-saw-kepada.html diakses pada 23 Maret 2015
http://www.merdeka.com/ramadan/kisah-raja-persia-robek-surat-ajakan-masuk-islam-dari-rasulullah.html diakses pada 23 Maret 2015
https://kisahpenemu.wordpress.com/2010/02/19/penemu-radio/ diakses pada 23 Maret 2015





Sunday, 27 April 2014

Kecamuk Rindu Ini Bertalu-talu, Ya Nabiku

BY Unknown IN , No comments

abubakarmori.wordpress.com

Surat ini mengurai segenggam asa untuk Ikhwah fillah. Ditulis layaknya curahan hati seorang diri yang merindui. Meski tak puitis bertali romantis, inilah isi hati. Tulisan ini mengalir begitu saja, berbekal tulus seadanya. Semoga bermanfaat :)
Assalamualaikum-warahmatullahi-wabarakatuhu

Sepucuk surat perengkuh ukhuwah.
Dari seorang hamba yang kerdil di pelosok negeri Serambi Mekah.

Sejumput rindu padamu, Ya Rasulku, menikam hatiku yang mulai membatu, yang kaku terlilit benalu nafsu. Jiwa ini sungguh penat  menghardik diri yang remang akan cahaya taubat. Berawal dari hari lahirmu ini, ku tunaikan seutas pantas kalimat cinta yang disebut shalawatitu. 
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ‘alihiwashahabihi wasallim.
Tak pernah melihatmu adalah alasan yang membuat semangat ingin bertemu itu semakin menggebu. Sebuah nadi kehidupan telah ku ikrar: membayar harga apa pun di dunia untuk bertemu denganmu di akhirat. Rindu yang terangkai ku himpun untuk menggapai mahligai ukhuwah.

Seuntai maaf ku akadkan melalui perantara kalam ini. Ingin rasanya bertemu dikau, namunhati haruslah memantaskan diri. Ingin bercengkerama denganmu, orang nomor satu di bumi, namun perangai tak terangkai bak akhlak muliamu. Akankah diri ini terpaut dalam meraih syafaatmu, sementara jiwa jauh tak merengkuh sunnahmu?
Perihal shirah, satu dua kalimat yang ku ingat dari petuah guru agamaku dulu. Tertanggal pada 12 Rabiul Awal 571 M, lahirlah Engkau dari wanita mulia bernama Aminah. Malam tenang dengan purnama benderang menyibak suka akan lahirnya Muhammad bin Abdullah, insan cemerlang pelita alam.
YaRasulullah, mengingat minimnya memoriku tentangmu, buat jiwaku kalut bercarut kemelut. Hanya beberapa potong kisahmu yang ku tahu. Betapa banyak hari yang terlalui untuk belajar, namun kerap ku abai akan shirahmu. Ku junjung setiap waktu mengejar ilmu dunia, namun tak fokus pada ilmu akhirat. Ketika ku jejaki madrasah tempo hari, berbagai catatan tentangmuterangkai rapi namun nyaris usang ditelan zaman, tak tersentuh lagi. Profilmu tinggal nama dalam diri ini, tak mengakar lagi menjadi pedoman jalan bagi hatidalam berekspresi. Astaghfirullah.
Aku bertekad pasti, insyaAllah shirah mu akan ku babat habis menjadi bekal yang kekal. Perintah Allah dan perintahmu,Rasulullah SAW. menjadi rangkaian ketaatan kentara tiada tara dalam hidup.
Teringat aku, Ya Rasulullah, ketika saudara seiman memekik sakit karena rudal dan peluruyang berderu-deru beberapa waktu lalu. Kepelikan saudara seiman sekilas melintas seperti angin lalu. Aku pangling akan seruan mereka yang memohon umatagar bersatu. Tak hanya itu, aku juga acuh terhadap berbagai masalah umat diIndonesia, negeri berpenduduk muslim terbesar di bumi ini. Apakah aku layak menggolongkan diri sebagai umatmu sementara aku berwajah masam mendengar seruanuntuk berada pada shafmuslimin yangpadu? 
Tidaklah beriman seseorang muslim sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Sungguh, hadis shahih itu telah terpatri lama di benakku. Namun mengapa aku tidak peka pada bencana kemanusiaan yang menimpa tubuh umat Islam?
Terkadang tangan tergepal ingin memukul mundur kafir laknatullah itu dari tanah saudara seimanku, namun marah itu hanya sebatas sulut. Melihat kemaksiatan di depan mata saja ragaku gentar, lidahku kelu. Hanya hati yang mampu berkata tidak dengan suara serak. Kakiku kaku membeku, tak bisa melangkah hentikan perkara mungkar.
Apa yang ku suratkan ini siratkan sebuah benci terhadap ketidak-kokohan persatuan umat hari ini. Namun kebencian itu jelas tak sinkron dengan sikapku tempo waktu yang acuh terhadap kebersatuan umat. Sungguh sikap abai itu tak memerikan akhlakmu. Taubat -salah satunya yang ku tempuh melalui surat ini- selalu jadi sebuahjawab untuk diri yang tak malu berperilaku cela, sebagai penghapus dosa di masalalu.
RasulullahMuhammad SAW. engkau adalah khatimul anbiyaa, penutup para Nabi. Namun hari ini, mereka berani menyeruakkan suara bahwa ada nabi setelahmu. Sungguh kesesatan merajalela, pendangkalan akidah menantang iman umat. Berkoar-koar para penyesat itu menyulut api kebencian pada aqidah yang benar. Sungguh saat persatuan ummat termajinalkan, cacian danolokan kafir pun akan berani  menggema mengangkasa.

Di akhir zaman ini, ya Rasulullah, umatmu tersebar di segala penjuru bumi. Keberagaman bahasa, bangsa dan suku mewarnai perbedaan. Sungguh itu bukan masalah dalam merealisasikan niat bersatu padu menegakkan tauhid. Namun milyaran jiwa berstatus muslim itu nyatanya bagai buih di lautan, mudah diombang-ambing bahkan dihancurkan.
Terkadang perbedaan menjadi pangkal perpecahan. Hingga ketika saudara muslim di belahanbumi lain saling perang, juga ketika kafir menyerang, umat tak berdaya.Terlebih diri ini nyatanya hanya mampu memaku diri menonton duka. Bukannya bertindak, yang tampak hanyalah air wajah tanpa ekspresi, hanya tatapan kosong.
Kulihat diriku pesimis menjejak tindak. Malu berdakwah, terkadang seganmenggemakan ayat Allah. Takut dunia menghimpit, takut urusan hidup menjadipelik. Takut seluruh dunia memandang sinis, khawatir teriakan lantang membenci perang dan kekufuran itu membuat diri dipecat dari instansi. Astaghfirullah.
Namun ku yakin, masih ada hari untuk berubah; selama nyawa masih belum sampai ditenggorokan. Ya Allah, paripurnakanlah niat dan langkahku untuk berubah,menjadi sebenar-benar hamba dan umat. Perlahan kini ku ukir kembali niatmenggamit syahdu perangai Rasul. Melayakkan diri menjadi umatmu yang kau cintaadalah pilihan, merajai hati memikul jihad perangi kebathilan dan kebodohan kini bulat menjadi tekad.
Ku lirik lagi sepenggal sejarah yang menggetarkan kalbu. Betapa engkau, pada tanggal 13 Rabiul Awal 11 H, menyelipkan kata ‘Ummati’ di penghujung umurmu.Sungguh khawatir engkau akan kondisi umat sepeninggalmu, sungguh dalamcintamu akan kami, umatmu.
YaRasulullah, eksistensi akhlakmu akan paripurna sempurna hingga akhir masa. Ikrarku kini: salah satu penjaga kesempurnaan sunnah itu adalah aku. Ku cobanahkodai pola pikir dengan Al-Quran dan sunnah, hadapi carut marut hidup denganaqidah yang kaffah.  Jika seluruh bumi memijak, menghentak, menyeruakkan pedang untuk memerangi niat tulusku mencintaimu, ku lantangkan satu suara bahwa engkau takkan terpisahkan dari hatiku.
Dihari maulid Nabi ini, ku harapkan satu nikmat indah kembali seperti masamu, yakni terekat kembali ukhuwah islamiyah. Dendam dan perang yang pernah tersulut semoga  tergantikan jadi benderang cinta. Umat yangsatu itu kembali, hingga mudahlah kebodohan dan kesesatan diperangi. Ridha Allah menjadi bekal, semerbak kasturi menjadi hadiah yang kekal.
Kujadikan surat ini tak sekedar bukti rindu, namun juga seruan bagi umat untukbersatu. Memaknai perbedaan adalah sebuah keniscayaan, merealisasikan persatuan adalah keharusan.
Janji ini menjadi akad yang terpatri dalam sehari semalam shalatku. Realisasi syahadat sebagai kesungguhan bukti bakti dalam hidup harus tertunai dengan menyemai bibit kebajikan dalam hidup, saling menasehati: sikap umat yang saling menyatu.
Semangat mencintaimu akan ku gelorakan saban waktu. Persembahkan kalam shalawat ini ku ucap sepenuh kalbu, bukan perihal diri rindu syafaat, namun karena aku sungguh mencintaimu.
Allahumma shalli ‘ala sayyidinaMuhammad wa’ala alihi washahbihi wasallim.

Wassalamualaikum-warahmatullahi-wabarakatuhu

Penulis bernama Hilda Rahmazani, mahasiswi FKIP Matematika Unsyiah angkatan 2012. Email: hildarahmazani@gmail.com

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Menulis Surat Cinta Untuk Rasulullah, Radio Seulaweut 91 FM 

Sumber foto: 
twitter.com
Sumber foto: twitter.com

Sumber foto:  cinqleafclover.blogspot.com
Sumber foto: cinqleafclover.blogspot.com




Sumber foto:  kutipanislam.wordpress.com
Sumber foto: kutipanislam.wordpress.com

Tuesday, 22 April 2014

Everlasting*

BY Unknown IN , No comments

Teruntuk jiwa yang sedang didera rasa suka, hehe, ini ada beberapa kalimat miliknya *Darwis Tere Liye, Everlasting. Saya memperoleh kalimat2 ini dari seorang karib yang senantiasa hadir memberi petuah bijak. How sweet is it, alhamdulillah. Semoga Allah membalas kebaikannya. Awalnya hanya terdiri dari satu paragraf panjang, namun saya coba penggal jadi beberapa bagian agar mudah dibaca. Maaf jika penggalan paragrafnya kurang mengena. Selamat menyimak, teman. :)


Saat kita sedang sendiri, kesepian, dalam masalah, membutuhkan teman, lantas teringat dengan seseorang, berharap banyak dia akan membantu, atau setidaknya mengusir sedikit gundah-gulana. Apakah itu disebut cinta? Tentu saja. 

Tetapi kalau demikian, bukankah cinta jadi tidak lebih dari seperangkat obat? Alat medis penyembuh? Selesai malasahnya, saat kita kembali semangat, sembuh, maka persis seperti botol-botol obat, seseorang itu bisa segera disingkirkan. Sementara, dong? Temporer? Juga tentu saja, kecuali kita selalu sakit berkepanjangan, dan mulai mengalami ketergantungan dengan seseorang tersebut. 

Jika demikian maka cinta jadi mirip nikotin, candu. Saat kita ingin selalu bersamanya, selalu ingin didekatnya, selalu ingin melihat wajahnya, senyumnya, nyengirnya, bahkan gerakan tangan, gesture, bla-bl-bla. Ingin mendengar suaranya (meski suaranya fals), tawanya (walau tawanya cempreng); apakah itu disebut cinta? Tentu saja. 

Bagaimana mungkin bukan cinta? Tetapi kalau hanya demikian, maka bawakan saja imitasi seseorang itu ke rumah, taruh seperti koleksi patung, jika ingin mendengar tawanya, stel sedemikian rupa biar dia tertawa, ingin melihat dia bicara, stel agar dia bicara. Bukankah hari ini sudah banyak teknologi imitasi seperti ini? Apakah itu akan berlangsung sementara? Boleh jadi, karena persis seperti kolektor yang memiliki koleksi benda antik, seberapapun berharganya, cepat atau lambat rasa bosan akan tiba. 


Bisa sih disiasati dengan jarang-jarang melihat koleksi tersebut, jarang-jarang bertemu biar terus kangen dan rindu, aduh, kalau demikian, maka cinta jadi sesuatu yang kontradiktif, bukankah tadi dibilang ingin selalu bersamanya. Saat kita terpesona melihatnya, kagum menatapnya, begitu hebat, keren, terlihat berbeda, cantik, gagah, dan bla-bla-bla. Apakah itu disebut cinta? Bisa jadi. Tapi jika demikian cinta tak lebih seperti pengidolaan, keterpesonaan. 

Jika demikian, solusinya mudah, pasang saja posternya besar-besar di kamar. Jika kangen, tatap sambil tersenyum. Taruh foto-fotonya di mana-mana. Selesai urusannya. Apakah ini sementara? Temporer? Tentu saja. Saat idola baru yang lebih keren tiba, saat sosok baru yang lebih hebat datang, maka idola lama akan tersingkirkan. Jika demikian, maka cinta tak ubahnya seperti lagu pop, cepat datang cepat pergi. Persis seperti anggota boyband di tahun 80-an, basi di tahun 90-an, dan anggota boyband di tahun 2012, dijamin basi banget di tahun 2030. 

Saat kita tergila-gila, selalu ingat dengannya, tidak bisa tidur, tidak bisa makan, berpikir jangan-jangan kita kehilangan akal sehat, apakah itu disebut cinta? Tentu saja. Tapi jika demikian cinta, maka ia tak lebih dari simptom penyakit psikis? Sama persis seperti penjahat yang jadi buronan, juga tidak bisa tidur, susah makan, dan terkadang berpikir kenapa ia bisa kehilangan akal sehat menjadi penjahat. Sementara? Temporer? Tentu saja. 

Waktu selalu bisa mengubur seluruh kesedihan. Hampir kebanyakan orang akan bilang: “Saya tidak pernah tahu kapan perasaan itu datang. Tiba-tiba sudah hadirlah ia di hati.” Ada sih yg jelas- jelas mengaku kalau dia cinta pada pandangan pertama; sekali lihat, langsung berdentum hatinya. Tapi di luar itu, meskipun benar-benar pada pandangan pertama, kita kebanyakan tidak tahu kapan detik, menit, jam, atau harinya kapan semua mulai bersemi. Semua tiba-tiba sudah terasa something happen in my heart. 

Terlepas dari tidak tahunya kita kapan perasaan itu muncul, kabar baiknya kita semua hampir bisa menjelaskan muasal kenapanya. Ada yg jatuh cinta karena seseorang itu perhatian, seseorang itu cantik, seseorang itu dewasa, rasa kagum, membutuhkan, senang bersamanya, nyambung, senasib, dan seterusnya, dan seterusnya. Dan di antara definisi kenapa tersebut, ada yang segera tahu persis kalau itu sungguh cinta, ada juga yang berkutat begitu lama memilah-milah, mencoba mencari penjelasan yg akan membuatnya nyaman dan yakin, ada juga yang dalam situasi terus-menerus justeru tdk tahu atau tidak menyadarinya kalau semua itu cinta. 

Cinta sungguh memiliki begitu banyak pintu untuk datang. Kebanyakan dari “mata”, mungkin 90%. Sisanya dari “telinga”. Dari bacaan (membaca sesuatu darinya), dari kebersamaan, dari cerita orang lain. Dari mana saja. Lantas otak akan mengolahnya, mendefinisikannya menjadi: sayang, kagum, terpesona, dekat, cantik, ganteng, cerdas, baik, lucu, dan seterusnya. Kemudian hati akan menjadi pabrik terakhir yang menentukan: “ya” atau “tidak”. Selesai? Tidak juga, masih ada ruang buat prinsip-prinsip, pemahaman hidup, pengalaman (diri sendiri atau belajar dari pengalaman orang lain) untuk menilai apakah akan menerima kesimpulan hati atau tidak. Ini proses cinta kebanyakan. 

Tetapi orang-orang yang paham, maka pintu datangnya cinta bukan sekadar dari mata atau tampilan fisik saja. Proses mereka terbalik, mulai dari memiliki prinsip-prinsip, pemahaman-pemah aman yang baik, lantas hati dan otak akan mengolahnya, baru terakhir mata, telinga dan panca indera.

Sepotong Kisah dari Kuala Gigieng

BY Unknown IN No comments

Photo by: Miftahul Jannah Yusuf
Bantaran tepi kuala menjadi saksi kebersamaan kami. Saat terik itu, pasir yang tersembul di sisi kuala gigieng menjadi potret yang kami bidik. Sesaat menyeruak tanya yang bersusulan dalam bicara; obrolan seputar fakta kehidupan nelayan di sana. Adalah aku dan Mita, kawan karib yang lebur dalam suasana siang bersama beberapa nelayan di sana.

Siang itu, aku ‘memaksanya’ pergi ke sebuah perkampungan nelayan, nun jauh dari pusat kota pelajar; tempat kami berada. Siang itu ia sedang rehat, menghabiskan hari di rumah. Aku mengajaknya menikmati siang yang terik, 'menyabotasenya' pada aktivitas yang mencekik. Ya, aku punya sebuah deadline liputan yang harus ku tuntaskan, merampungkan sebuah tulisan tentang perubahan iklim.

“Tah, lagi dimana? Kawanin aku ke Lambada Lhok, yok..” Tanpa rasa bersalah, SMS itu terlayang ke handphone milik Mita.

“Di rumah. Yok..” Singkat, namun berarti. Setidaknya beberapa potong kata itu membuatku  menyunggingkan sebuah senyum, sungguh senyum yang tak kenal malu.

Ia duduk di belakangku. Motor hitam ku lenggangkan dari gelanggang kampus, pergi ke Lambada lhok. Sesaat ketika sampai di sana, kami menemui seorang nelayan yang sibuk mengasah batu. Tak ada ikan yang dipajang di tempat pendaratan ikan itu. Ia mempersilakan kami menemui beberapa karibnya yang sedang menikmati kopi siang di sebuah warung berkonstruksi kayu di tepi kuala.

Menyeruput kopi menjadi aktifitas nelayan siang itu. Mereka tidak melaut karena kecamuk alam sedang tidak bersahabat. Lebih tepatnya, mereka tidak bisa melaut karena alur kemudi kapal tidak bisa dilalui. Pasir kian memadati isi kuala, kapal pun enggan bergerak melaluinya.

Mita membidikkan lensa kamera DSLR ke arahku. Sesekali ia melirik ke sisi lain kuala yang panoramanya sangat memanjakan mata. Gelak tawaku bertemu dengan senyumnya, seorang teman yang bijak bersahaja. Mita memang tak banyak bicara, namun ekspresi wajahnya menyibak banyak petuah bijak.

Mita melempar pandang ke arah kuala lekat-lekat. Aku sadar memboyongnya ke tempat sejauh ini pasti membuatnya lelah. Namun pendar senyumnya tetap tersungging, ia tak bergeming dari aktifitas memotret, tetap
menemaniku mewawancara. Ia sungguh banyak membantu, bahkan lebih dari yang ku harapkan.

“Jangan lupa tanyakan umur,” bisiknya pelan. Instruksi itu sungguh membantu pekerjaanku.

Aku mengenal Mita melalui sebuah lembaga Pers. Beberapa bulan rasanya cukup memberikan banyak arti pada persahabatan kami. Buah pikir dan canda banyak tertuang pada keseharian yang terlalui. Aku mengenal Mita lebih dari apa yang terlihat dari penampilannya yang bersahaja. Bahkan ketika aku menemaninya ke Rumah
Sakit Jiwa, (tapi bukan jadi pasien yaa) ia tampak sebagai sosok sahabat yang sabar. Mita mendapat tugas meliput kisah keluarga pasien RSJ yang merupakan seorang mahasiswa. Sungguh sulit kami temui, namun ia tak menyerah. Beberapa kali kami kunjungi Rumah sakit itu.

Kembali ke Kuala Gigieng. Seorang bapak, ku taksir umurnya lebih dari setengah abad, sekitar 70-an, mengaku sulit mencari nafkah akibat kondisi yang tidak bersahabat. Aku runut mencatat apa yang ia utarakan sementara Mita ikut menyimak. Derita si Bapak bahkan dimulai jauh sebelum orde baru. Ia mengaku dulu tidak hanya kekurangan pangan, namun juga kurang sandang untuk dilabuhkan di tubuh. Bayangkan saja, tanpa pakaian, pastilah tubuh akan dikuliti rasa dingin dan panas. Tubuh menjadi kebal akan setiap musim.

Ia juga bercerita, dirinya kerap menggantung harapan pada calon legislatif yang kerap menemuinya menjelang pemilu. Namun ia merasa lelah, usainya perhitungan suara pasca pemilu seolah menyudahi janji-janji perubahan itu. Ia juga banyak berkisah tentang pengalamannya membaca cuaca. 

Pria lain yang usianya menginjak kepala tiga juga mengulas kisahnya yang apik dikemas dengan bahasa yang bersahabat. Benarlah sudah ungkapan itu. Bangsa ini memang cerdas beramah tamah dengan tamu, tak terkecuali bapak yang kami temui itu. Ia mengaku, kadang ketika ia sulit melaut, tak ada apa pun yang bisa dibawa pulang. Tingginya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pun membuatnya harus menghemat. Penghasilannya yang terbilang puluhan ribu membuatnya harus menyicil minyak yang ia ambil di kios desa. Pun, terkadang kisahnya tak sampai di situ. Ia harus menunda niatnya pulang menemui anak dan istri jika air pasang enggan bertamu ke kuala mereka. Ia harus menunggu air pasang satu-dua malam, agar dapat memboyong kapalnya mendarat ke pinggir kuala.

Sesi obrolan santai bersama nelayan pun selesai. Aku dan Mita berbalik pergi, membawa sejumput harapan nelayan di sana.

“Da, kita ke sana, yuk,” Telunjuk Mita mengarah ke sederet pohon Pinus. Ia mengajakku pergi ke area bebatuan di sisi kiri kuala; sebuah tempat dimana kau akan menemukan paduan pohon bakau, perumahan penduduk, pohon pinus, laut, dan pegunungan.

Aku dan Mita menaiki tembok untuk dapat menembus masuk ke arah bebatuan yang terikat di pinggir kuala. Aku melalui alur batu tajam itu perlahan. Sesaat ada pesawat yang melalui area ‘jajahan’ kami.

“Ta, foto taa..” Pekikku girang. Mita menurut pintaku. Ia memotret momen itu dengan baik.Oh, sungguh karib yang sangat memesona. Hehe, what a really good friend. ^^

Bukan cerita biasa, begitulah kesanku melalui hari di Kuala Gigieng, Lambada Lhok, Aceh Besar. Tidak hanya kisah setia seorang Mita namun juga kisah mereka para nelayan. Mereka mengajarkan bagaimana bersahabat dengan kondisi yang pelik, menuai solusi menghadapi hidup yang sulit. Harapku, semoga kehadiran kami lebih dari menampung aspirasi, namun juga dapat mempengaruhi hati para petinggi negri yang (mungkin) membaca tulisan kami (yang alhamdulillah dimuat di tabloid DETaK edisi 35).

Lebih dari itu, kisah cinta di Kuala Gigieng menjadi pelajaran berharga yang ku dapat. Betapa besar perjuangan seorang ayah menghidupi anak-anaknya, gambaran kesabaran dari sebuah keluarga yang tetap hidup dalam cinta  meski dengan berbagai keterbatasan. Juga, Kuala Gigieng menjadi saksi kerasnya kehidupan rakyat yang kepentingannya termajinalkan.   

[]

Komparasi Pendapat Boleh-tidaknya Membaca Al-Ma'tsurat

BY Unknown IN No comments



Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah ulasan menarik yang marak dibagikan di media sosial. Hal tersebut penting untuk dikaji, yakni masalah boleh-tidaknya membaca al-ma'tsurat (yang merupakan dzikir pagi dan petang) dari sebuah page. Sesaat kemudian, karena penasaran dan diusik rasa ragu akan kebenarannya, saya pun mencoba bertanya pada salah seorang teman yang sedang mendalami ilmu terkait. Dalam uraian ini, saya sertakan dua pandangan terkait dengan boleh-tidaknya mengamalkan al-ma'tsurat. Untuk kajian yang lebih komprehensif, insyaAllah akan saya pelajari lebih lanjut dan insyaAllah akan diposting di tulisan berikutnya.


Ulasan pertama saya peroleh dari tulisan fanspage facebook ''Hadis Sahih", sementara uraian kedua adalah pandangan seorang karib yang juga didasari dengan hujjah yang kuat. Tujuan penulisan catatan ini adalah sebuah ikhtiar dalam mengkaji kebenaran secara komprehensif. Kedua pandangan yang bersifat kontradiktif tersebut saya bagi dengan tanda sama dengan (===) agar memudahkan pembaca. Mohon disimak hingga kalimat terakhir agar pemahamannya tidak parsial. 



======================================================================



HADITS DHOIF/LEMAH & BID'AHNYA " AL MA’TSURAT HASAN AL-BANA "
PENULIS KITAB “AL-MA’TSUROT”



Penulisnya adalah Syaikh Hasan bin Ahmad bin Abdurrohman Al-Banna, pendiri jama'ah Ikhwanul Muslimin. Ia dilahirkan pada tahun 1906M di Mahmudiyyah Buhairah Mesir, dan meninggal di Kairo Mesir tanggal12 Februari 1949 M. Hasan Al-Banna adalah pengikut tarikat shufiyyah Hashshofiyyah sejak usia 
muda. Dia mengenal tarikat Hashshofiyyah semenjak duduk di Madrasah Mu'allimin UIa di Damanhur. Dia kemudian berbai'at di hadapan Mursyid Tarikat Hashshofiyyah, Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashshofi, dan kemudian aktif dalam kepengurusan Jam'iyyah Hashshofiyyah Al-Khoiriyyah.Semasa hidupnya, Hasan Al-Banna selalu mengamalkan ritual-ritual tarikat Hashshofiyyah tersebut seperti Wadhifah (wirid) Rozuqiyyah tiap pagi dan petang. Nampaknya Wadhifah Rozuqiyyah ini adalah asal dari Wadhifah Kubro (nama lain dari Al-Ma'tsurot sebagaimana tertera dalam judul cetakannya).



Hasan Al-Banna tidak hanya mengamalkan Wadhifah Rozuqiyyah saja, bahkan dia juga mengikuti ritual Hashshofiyyah di kuburan-kuburan dengan cara menghadap kepada sebuah kuburan yang terbuka dengan tujuan untuk mengingat kematian, kemudian ritual Hadhroh setelah sholat Jum'at, dan ritual Maulid Nabi.
Abul Hasan An-Nadwi berkata: "Hasan Al-Banna selalu mengamalkan wirid-wirid dan ritual-ritual ini hingga akhir hayatnya." (Tafsir Siyasi lil Islam hal. 83).
Adapun dalam segi aqidahnya, Hasan Al-Banna adalah Asy'ari Mufawwidhoh sebagaimana nampak dalam kitabnya, Aqo'id. (Lihat Mudzakkirot Da'wah wa Da'iyyah, Nazhorot fi Manhaj Ikhwanul Muslimin danThoriqoh Hasan Al-Hanna wa Ashumul Waritsin )



WIRID-WIRID ‘AL-MA’TSUROT” YANG LEMAH ATAU TIDAK ADA ASALNYA



Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling utama. Sedangkan ibadah wajib dilandaskan atas dalil yang tsabit (kuat) dan tidak boleh menetapkan suatu ibadah tanpa dalil atau dengan dalil yang dho'if (lemah). Maka tidak boleh seorang muslim mengamalkan suatu dzikir tertentu kecuali setelah meyakini bahwa dzikir tersebut dinukil dengan dalil yang tsabit dari Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Ada beberapa dzikir yang lemah dalilnya atau bahkan tidak ada asalnya sama sekali, di antara do'a-doa dan dzikir-dzikir tersebut ialah:



[1]. Wirid Pertama.
“Ashbahnaa wa asbaha al-mulku lillahi laa syariikalahu wa alhamdu kulluhu lillahi laa syarikalahu laa ilaha illa allahu wa ilaihi an-nusyuur”
"Artinya: Sesungguhnya kami terjaga di pagi hari dengan (kesadaran bahwa) / kerajaan (bumi dan segala isinya) ini seluruhnya adalah milik Alloh. Dan segala puji bagi Alloh, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Robb selain Dia dan kepada-Nya kami akan dibangkitkan."



Wirid ini datang dalam hadits Abu Huroiroh Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Bukhori dalam Adabul Mufrod 1/211 no. 604 dan, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa Lailah hal. 74 dari jalan Abu Awanah dari Umar bin Abi Salamah dari bapaknya dari Abu Huroiroh Radhiyallahu'anhu. Riwayat ini dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu : "Dho'if dengan lafazh ini, di dalam sanadnya terdapat Umar bin Abi Salamah Az-Zuhri Al-Qodhi, fihi dho'fun (padanya terdapat kelemahan)," ( Dho'if Adabul Mutrod hal. 
60)



[2]. Wirid Kedua
“Allahumma ma ashbaha bii min ni’mati faminka wahdaka laa syariika laka falaka alhamdu walaka asy-sukru”
"Artinya: Ya Alloh nikmat apapun yang kuperoleh dan diperoleh seseorang di antara makhluk-Mu adalah dari-Mu, yang Esa dan tak bersekutu, maka bagi-Mu segala puji dan syukur."



Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Ghonam Al-Bayadhi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam 
Sunan-nya 4/318, Ibnu Hibban dalam Shohih-nya 3/143, Nasa'i dalam Sunan Kubro 6/5, Abu Bakar Asy-Syaibani dalam Ahad wal Matsani 4/183, dan Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/89 dari jalan Rabi'ah bin Abi Abdirrohman 
dari Abdulloh bin Anbasah dari Abdulloh bin Ghonam Al-Bayadhi.
Abdulloh bin Anbasah dikatakan oleh Adz-Dzahabi rahimahullahu : hampir-hampir tidak dikenal)."
Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Takhrij Kalimu Thoyyib hal. 73 dan Dho'if Jami' Shoghir: 5730.



[3]. Wirid Ketiga.
“Yaa rabbi laka alhamdu kamaa yanbagii lijalaali wajhika wali’adhiimi sulthoonika.”
Wirid ini terdapat dalam hadits Abdulloh bin Umar Radhiyallahu'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/1249, Thobroni dalam Mu'jam Ausath 9/101 dan Mu'jam Kabir 12/343, dan Baihaqi dalam Syu'abul 
Iman 4/94 dari jalan Shodaqoh bin Basyir dari Qudamah bin Ibrohim Al-Jumahi dari Abdulloh bin Umar Radhiyallahu'anhu.



AI-Bushiri rahimahullahu berkata: "Sanad ini, terdapat kritikan padanya." (Mishbahu Zujajah 4/130)
Shodaqoh bin Basyir dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Taqrib: "Maqbul (yaitu diterima haditsnya jika ada penguatnya, kalau tidak ada penguatnya maka haditsnya lemah)."
Qudamah bin Ibrohim dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Taqrib: "Maqbul."
Riwayat ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dho'if Sunan Ibnu Majah hal. 308 dan Dho'if Jami' Shoghir: 1877.



[4]. Wirid Keempat
“Allahumma sholli ‘alaa muhammadin ‘abdika wanabiyyika warosuulika an-nabiyyi al-ummii wa ‘alaa aalihi washohbihi wasallim tatsliimaa ‘adada ma ahaatho bihi ‘ilmuka wakhoththo bihi qolamuka wa ahshoohu kitaabuka…” 
"Artinya: Ya Alloh limpahkanlah sholawat atas junjungan kami Muhammad hamba-Mu,nabi-Mu, dan rosul-Mu, nabi yang ummi, dan atas keluarganya; dan limpahkanlah salam sebanyak yang diliput oleh ilmu-Mu dan dituliskan oleh pena-Mu, dan dirangkum oleh kitab-Mu "
Sholawat ini adalah sholawat yang bid'ah yang tidak ada asalnya, tidak ada di dalam  kitab-kitab hadits yang mu'tabar sepanjang penelitian kami. Wirid-wirid di atas (1 s/d 4) adalah yang lemah atau tidak ada asalnya. Di samping itu, di dalam kitab Al-Ma'tsurot ini banyak wirid-wirid lain yang shohih lafazhnya tetapi bid'ah dari segi kaifiyyat (tatacara)nya karena memberikan bilangan bacaan-bacaannya yang tidak pernah ada tuntunannya dari Rasululloh Shollallahu 'alaihi wa sallam.



DO’A ROBITHOH” YANG BID’AH



Pada akhir kitab Al-Ma'tsurot ini tercantum Do'a Robithoh yang berbunyi:
“Allahumma innaka ta’lamu anna hadihi al-quluuba qodijtama’at ‘alaa mahabbatika waltaqot ‘alaa thoo ‘atika watawahhadat ‘alaa da’watika wa ta’aahadat ‘alaa nushroti syarii’atika fawassiq allahumma roobithhaa wa adim wuddahaa” "Artinya : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah (kecintaan) hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru di (jalan)-Mu, dan berjanji selia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya Ya Alloh, abadikan kasih sayangnya…" Syaikh Ihsan bin Ayisy Al-Utaibi rahimahullahu berkata: "Di akhir Al-Ma'tsurot terdapat wirid robithoh, ini adalah bid'ah shufiyyah yang diambil oleh Hasan Al-Banna dari tarikatnya, Hashshofiyyah." (Kitab TarbiyatuI Aulad fil Islam Ii Abdulloh Ulwan fi Mizani Naqd Ilmi hal. 126)



HUKUM WIRID-WIRID BID’AH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: "Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do'a termasuk di antara ibadah-ibadah yang paling afdhol (utama), dan ibadah dilandaskan alas tauqif dan ittiba', bukan atas hawa nafsu dan ibtida ', Maka do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah yang paling utarna untuk diamalkan oleh seorang yang hendak berdzikir dan berdo'a. 



Orang yang mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang berada di jalan yang aman dan selamat. Faedah dari hasil yang didapatkan dari mengamalkan do'a-do'a dan dzikir-dzikir Nabi Shollallahu 'Alaihi wa sallam begitu banyak sehingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Adapun dzikir-dzikir dari selain Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam , kadang-kadang diharamkan, kadang-kadang makruh, dan kadang-kadang di dalamnya terdapat kesyirikan yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Tidak diperkenankan bagi seorang pun membuat bagi manusia dzikir-dzikir dan do'a-do'a yang tidak disunnahkan, serta menjadikan dzikir-dzikir tersebut sebagi ibadah rutin seperti sholat lima waktu, bahkan ini termasuk agama bid'ah yang tidak diizinkan oleh Allah. 



Adapun menjadikan wirid yang tidak syar'I maka ini adalah hal yang terlarang, bersamaan dengan ini dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'I sudah memenuhi puncak dan akhir dari tujuan yang mulia, tidak ada seorang pun yang berpaling dari dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang syar'i menuju kepada dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang bid'ah melainkan (dialah) seorang yang jahil atau sembrono atau melampaui batas." 
(Majmu' Fatawa 22/510-511).



PILIHLAH KITAB-KITAB DZIKIR YANG SHOHIH



Setelah melihat banyaknya hal-hal yang bid'ah dalam kitab Al-Ma'tsurot ini, kami memandang bahwa kitab ini tidak layak dijadikan pegangan di dalam wirid-wirid keseharian seorang muslim. Kami menganjurkan agar saudara-saudaraku kaum muslimin memilih kitab-kitab dzikir lainnya yang mengacu kepada do'a dan dzikir yang shohih dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam, di antara kitab-kitab yang kami anjurkan untuk dipakai adalah:
1. Al-Adzkar oleh AI-Imam, An-Nawawi bersama penjelasan derajat haditsnya dalam kitab Shohih wa Dho'if AI-Adzkar oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilali.
2. Al-Kalimu Thoyyib oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan takhrij Syaikh Al-Albani.
3. Hishnul Muslim oleh Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
4. Tuhfatul Akhyar oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
5. Shohih Kalimu Thoyyib oleh Syaikh Al-Albani.
Wallahu a'lam bishowab....
(Junaidi Abu Luqman)




======================================================================



Adapun pendapat lainnya yang membolehkan membaca al-ma'tsurat yakni berdasarkan beberapa kajian berikut.



Sekarang banyak sekali kita temui tulisan yang mengulas tentang larangan membaca al-ma'tsurat dalam masyarakat. Sangat disayangkan ketika ada masyarakat awam yang tidak mengerti duduk perkaranya namun langsung menganggapnya benar dan menjadikannya hujjah. Parahnya, tulisan tersebut menyalahkan pihak lain, menganggap diri paling benar, sementara orang lain yang melakukan ibadah yang berbeda dengan mereka itu dianggap bid'ah, syirik, bahkan sampai mengkafirkan sesama umat Islam. Contohnya seperti orang yang melaksanakan maulid, tahlilan, dll. Menurut mereka, masyarakat yang mengadakan maulid nabi mau pun tahlilan, adalah orang yang bid'ah dan akan masuk neraka. Di sini lah faktor yang embuat umat Islam semakin terpecah, padahal masing-masing pihak memiliki dalil dan dasar masing-masing, karena sebenarnya perbedaan itu tidak masalah (asal ada dalil yang benar dan kuat), yang penting jangan saling menyalahkan, menganggap diri paling benar sementara orang lain salah.



Demikian juga dengan masalah dzikit al-ma'tsurat. Untuk meluruskan masalah ini, pertama, kita harus mengerti terlebih dahulu makna dari dzikir. Hakikatnya, makna dzikir adalah mengingat Allah. Jadi semua kegiatan yang di dalamnya ada aktivitas mengingat Allah dan mendekatkan diri pada-Nya itu disebut dzikir, juga termasuk shalat, membaca Al-Qur'an. makna Dzikir sangatlah luas, bukan hanya sebatas membaca tasbih, tahmid, tahlil, dll. 



Selanjutnya, dzikir itu terbagi dua;



1. Ada yang ma'tsur, yaitu yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Banyak 
dzikir yang disebutkan dalam Al-Qur'an begitu juga dalam Sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabat. Zikir dalam Sunnah ada dua macam, ada dari hadits2 shahih dan ada dari hadits dhaif. Untuk masalah hadits shahih, sesungguhnya tidah dipermasalahkan di tulisan dalam tulisan di atas (baca: larangan membaca al-ma'tsurat) namununtuk zikir yang dari hadits dhaif inilah yang dipermasalahkan. Mereka mengatakan jika dzikir dari hadits dhaif tidak boleh dipedomani. Akan tetapi, ini sangat bertentangan dengan teori yang ada di dalam pembahasan ulumul hadits, khusus'a pada pembahasan hadits dhaif. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa boleh ber-amal dengan hadits dhaif dalam masalah2 fadhilah amal, bukan dalam masalah2 aqidah, sedangkan zikir merupakan 
salah satu fadhilah amal.



2. Dzikir ghairu ma'tsur, yaitu dzikir 
yang tidak ada dalam Al-Qur'an maupun Sunnah. Inilah yang mereka katakan kalo mengambil zikir dari slain al-Qur'an danSunnah adalah Bid'ah bahkan mereka menganggap syirik yang melakukan hal tersebut. Sebenarnya inti dari permasalahan ini adalah bukan dari dzikirnya, tapi inti yang paling dasar adalah orang yang mengatakan ini bid'ah dan mereka tidak suka terhadap sufi. Mereka menganggap sufi itu sesat, makanya mereka mereka menolak segala sesuatu yang berasal dari sufi.  Dzikir ghairu ma'tsur ini adalah dzikir yang diambil dari para imam-imam tasawuf, orang-orang sufi yang berbeda dengan manusia biasa. Lebih lanjut, menurut  tingkatanya, ada dari mereka (ahli tashawuf maupun sufi) yang sudah sangat dekat hatinya dengan Allah dan Rasulullah Saw, sehingga Allah mengilhamkan kepada mereka melalui lidah mereka dzikir-dzikir dan shalawat-shalawat yang belum pernah kita dengar dan tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Apakah ini mungkin ? Jawabannya adalah sangat mungkin, bahkan sangat banyak contoh-contoh dari zikir itu sendiri. Setiap tarikat-tarikat tasawuf itu punya dzikir masing-masing, dan mereka juga punya sanad langsung hingga Imam-imam mereka. 



Kemudian, Apa juga perbedaan antara dzikir2 yang ma'tsur dan ghairu ma'tsur ? Perbedaannya cuma dalam fadhilah/keutamaan'a saja. Adalah lebih utama jika kita berzikir dengan dzikir2 yang ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini bukan berarti kalo kita bezikir dengan yang ghairu ma'tsur itu tidak boleh. Silahkan berzikir dengan yang ghairu ma'tsur asalkan dalam zikir itu tidak mengandung hal-hal yang membawa kepada kesyirikan atau mengandung
hal-hal yang mensifatkan Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak kepada-Nya. Sedangkan untuk dzikir-dzikir yang ada sekarang itu, misalnya seperti al-Ma'tsurat, silahkan dibaca karena itu semua tidak diragukan lagi dasarnya. Itu adalah amalan para sufi yang sangat dekat hati mereka dengan Allah, dan juga para Jumhur Ulama (kecuali kelompok tadi). Hal itu (membaca al-Ma'tsurat) sampai sekarang tidak ada (ulama) yang melarangnyaa atau mengatakan bahwa ada hal-hal yang menyimpang dalam Al-Ma'tsurat tersebut. 



Wallahu 'Alam...