Aceh merupakan propinsi satu-satunya di Indonesia yang memperoleh kedaulatan penuh dalam merealisasikan syari’at Islam secara struktural. Implementasi syariat Islam di Aceh adalah sebuah agenda besar bagi pemerintah. Masyarakat Aceh memang sudah lama mengenal Islam, yang dahulu pernah berjaya di tanah rencong tersebut. Eksistensi Islam di tengah-tengah komunitas masyarakat Aceh telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah perkembangan sosio-kultural.
Secara historis, Aceh terdiri dari berbagai negara bagian kecil seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Karenanya awal abad XVI, Aceh adalah satu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah bendera kekuasaan Aceh Darussalah (cikal bakal nama propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca era reformasi). Namun ketika Aceh diperintah oleh empat ratu dan sultan-sultan berikutnya, kerajaan Aceh mengalami kemunduran yang pada akhirnya saat Indonesia merdeka, para pemimpin Aceh memutuskan untuk bergabung dengan republik Indonesia.[1]
Sejak
awal perkembangan Islam, pendidikan telah mendapat perhatian dan prioritas
utama masyarakat muslim Indonesia. Hal itu karena besarnya arti pendidikan dan
kepentingan dakwah Islamiyah (Islamisasi) yang mendorong umat Islam mengadakan
pengajaran agama Islam. Sistem pembelajarannya dilakukan secara sederhana
yaitu diberikan dengan sistem halaqah. Pengajaran tersebut dilaksanakan
di tempat-tempat ibadah semacam mesjid, mushalla/langgar, juga di rumah-rumah
ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia
mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada ke dalam
lembaga pendidikan Islam.
Pesatnya perkembangan pendidikan pada masa tersebut ditandai dengan beberapa hal; Pertama, perhatian sultan yang cukup besar terhadap pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu turut berperannya sultan dalam membangun lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, datangnya para ulama yang ahli dalam bidangnya masing-masing ke Aceh, baik atas undangan dari para sultan atau dengan inisiatif sendiri. Ketiga, tersebarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di seluruh wilayah kesultanan Aceh.[2] Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, beliau mempunyai minat yang sangat besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga untuk itu banyaklah dayah-dayah (pesantren-pesantren) yang didirikannya.[3]
Pesatnya perkembangan pendidikan pada masa tersebut ditandai dengan beberapa hal; Pertama, perhatian sultan yang cukup besar terhadap pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, yaitu turut berperannya sultan dalam membangun lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, datangnya para ulama yang ahli dalam bidangnya masing-masing ke Aceh, baik atas undangan dari para sultan atau dengan inisiatif sendiri. Ketiga, tersebarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di seluruh wilayah kesultanan Aceh.[2] Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, beliau mempunyai minat yang sangat besar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga untuk itu banyaklah dayah-dayah (pesantren-pesantren) yang didirikannya.[3]
Pendidikan
Islam yang berkembang di Aceh terdiri dari dayah, madrasah atau meunasah, dan
pesantren. Dayah merupakan lembaga pendidikan Islam pertama di Aceh.
A.Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat
bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada
Muharram 225 H/840 M. Dayah berasal dari kata zawiyah, kata ini dalam bahasa
Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata zawiyah mula-mula dikenal
di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, zawiyah yang dimaksud pada
masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka
biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid.
Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Sejarah membuktikan bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dpimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[4]
Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Sejarah membuktikan bahwa Sultan pertama di kerajaan Peureulak (840 M.), meminta beberapa ulama dari Arabia, Gujarat dan Persia untuk mengajar di lembaga ini. Untuk itu sultan membangun satu dayah yang diberi nama “Dayah Cot Kala” yang dpimpin oleh Teungku Muhammad Amin, belakangan dikenal dengan sebutan Teungku Chik Cot Kala. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan tinggi Islam pertama di kepulauan Nusantara.[4]
Sementara pesantren berasal dari “santri”
yang berarti seorang yang belajar agama Islam, demikian pesantren mempunyai
arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.[5] Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat
pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke berbagai
daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. T. Syamsuddin dalam
Jeumala bahwa meunasah adalah tempat yang dibangun
sebagai pusat kegiatan masyarakat gampông, karena meunasah merupakan
suatu lembaga tradisional yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat Aceh.[6]
Meunasah adalah lembaga tradisional Aceh, yang telah menyatu dengan masyarakat Aceh di manapun masyarakat Aceh itu tinggal, karena di mana ada orang Aceh disitu ditemukan meunasah. Meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berobah menjadi meunasah.[7] Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur’an.[8]
Meunasah adalah lembaga tradisional Aceh, yang telah menyatu dengan masyarakat Aceh di manapun masyarakat Aceh itu tinggal, karena di mana ada orang Aceh disitu ditemukan meunasah. Meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berobah menjadi meunasah.[7] Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur’an.[8]
Dayah
dalam komunitas masyarakat Aceh merupakan sarana strategis dalam proses
transmisi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama dari satu generasi ke
generasi selanjutnya. Selain itu fungsi dayah juga sebagai institusi yang
selalu memberikan respons terhadap persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi
di Aceh. Peran dayah dan ulama dayah hasil didikannya menjadi panutan di
tengah-tengah masyarakat. Ulama dayah harus selalu siap menjadi pengawal bagi
terciptanya komunitas intelektual di negeri Seuramo Meukkah. Realitas sejarah
mengungkapkan bahwa lembaga dayah mempunyai empat kegunaan yang sangat
signifikan bagi masyarakat Aceh, yaitu sebagai pusat belajar agama (the central
of religious learning), sebagai benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi
penjajah, sebagai agen pembangunan, dan sebagai sekolah bagi masyarakat.[9]
Akhir-akhir ini, problematika dalam masyarakat Aceh
sangat krusial, yakni masalah penyimpangan dalam aqidah. Arus globalisasi,
akulturasi budaya asing, dan gencarnya perang pemikiran menyebabkan penerapan
syari’at islam menjadi sulit. Terlebih lagi, maraknya pendangkalan aqidah
yangdilakukan oleh misionaris datau kristenisasi yang telah masuk ke dalam
masyarakat. Hal ini merupakan tantangan yang besar bagi umat Islam. Allah Swt.
Telah menegaskan dalam surah al-Baqarah ayatn 120, “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar)."
Kegiatan misionaris ini kembali semarak setelah musibah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, di mana Aceh menjadi daerah yang sangat terbuka untuk didatangi oleh berbagai warga negara dengan beragam agama.Peristiwa dahsyat yang menimpa masyarakat Aceh tersebut, ternyata telah menimbulkan rasa simpatik masyarakat baik yang berasal dari dalam negeri, maupun masyarakat luar negeri (internasional). Berbagai bantuan mengalir ke Aceh, terutama masa-masa tanggap darurat (emergency), dan sampai hari ini upaya membantu Aceh melalui donor, NGO dan LSM lokal terus berlanjut. Bantuan berupa makanan, pakaian, perumahan, sarana produksi, bantuan ekonomi, rumah ibadah dan bantuan-bantuan lain merupakan simpatik kemanusiaan dan bentuk kepedulian terhadap penderitaan masyarakat Aceh.[10]
Kegiatan misionaris ini kembali semarak setelah musibah tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, di mana Aceh menjadi daerah yang sangat terbuka untuk didatangi oleh berbagai warga negara dengan beragam agama.Peristiwa dahsyat yang menimpa masyarakat Aceh tersebut, ternyata telah menimbulkan rasa simpatik masyarakat baik yang berasal dari dalam negeri, maupun masyarakat luar negeri (internasional). Berbagai bantuan mengalir ke Aceh, terutama masa-masa tanggap darurat (emergency), dan sampai hari ini upaya membantu Aceh melalui donor, NGO dan LSM lokal terus berlanjut. Bantuan berupa makanan, pakaian, perumahan, sarana produksi, bantuan ekonomi, rumah ibadah dan bantuan-bantuan lain merupakan simpatik kemanusiaan dan bentuk kepedulian terhadap penderitaan masyarakat Aceh.[10]
Semakin maraknya kejadian pendangkalan aqidah
tersebut mengakibatkan banyaknya sikap anarkis dan menimbulkan keresahan dalam
masyarakat. Menangani maslah ini, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya, hukum membina, mempertahankan dan
menjaga aqidah Islamiyah bagi orang Islam adalah wajib, membiarkan pendangkalan
aqidah dan pemurtadan umat Islam adalah haram, dan hokum memberikan penyadaran
(istitabah) terhadap orang yang sesat dan murtad adalah wajib. Apabila terjadi
kasus pemurtadan pada umat Islam, maka sesuai dengan Qanun. 11 tahun 2002,
pelaku pemurtadan dan pendangkalan aqidah akan diberikan sanksi.[11] Falsafah
negara Pancasila, mengamanatkan bahwa sesama pemeluk agama harus saling
hormat menghormati dan hargai-menghargai.
Amanah ini ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang melarang menyebarkan agama kepada pemeluk yang sudah beragama. Kegiatan yang meresahkan masyarakat ini akhirnya direspon dan ditindak lanjuti oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR NAD-Nias) dengan membetuk Tim Pembinaan dan Pengawasan Pendangkalan Aqidah, dengan SK No. 23/KEP/BP-BRR/II/2006. Tim ini bertugas untuk melakukan investigasi, pembinaan, dan pengawasan, analisa dan merumuskan laporan tentang kegiatan atau usaha-usaha yang mengarah kepada pendangkalan aqidah Islamiyah, untuk mendapatkan solusi dan penanganan yang tepat demi penyelamatan aqidah rakyat Aceh.[12]
Amanah ini ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang melarang menyebarkan agama kepada pemeluk yang sudah beragama. Kegiatan yang meresahkan masyarakat ini akhirnya direspon dan ditindak lanjuti oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR NAD-Nias) dengan membetuk Tim Pembinaan dan Pengawasan Pendangkalan Aqidah, dengan SK No. 23/KEP/BP-BRR/II/2006. Tim ini bertugas untuk melakukan investigasi, pembinaan, dan pengawasan, analisa dan merumuskan laporan tentang kegiatan atau usaha-usaha yang mengarah kepada pendangkalan aqidah Islamiyah, untuk mendapatkan solusi dan penanganan yang tepat demi penyelamatan aqidah rakyat Aceh.[12]
Pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah sangatlah
berkaitan dengan aqidah masyarakat yang benar serta kapasitas keilmuan
masyarakat menghadapi tantangan global. Keberadaan lembaga dayah
dan meunasah bagi pengembangan pendidikan di Aceh sangatlah urgen, dan
kebermaknaan kehadirannya sangat dibutuhkan dalam membentuk umat yang
berpengetahuan, jujur, cerdas, rajin dan tekun beribadah yang kesemuanya itu
sarat dengan nilai. Aqidah merupakan tolak ukur bagi
akhlak seseorang.
Apabila aqidah seseorang sudah kuat, ia pasti tidak akan berani melakukan kecurangan dan kemaksiatan. Dalam berdakwah, perubahan pertama yang diseruka oleh Rasul-rasul Allah. Rasulullah saw. memperjuangkan aqidah islam selama 13 tahun di Makkah, kemudian di Madinah untuk menegakkan pilar-pilar tauhid. Jika dianalogikan, keterkaitan syariat dengan Aqidah seperti bagian dari sebuah pohon. Aqidah diibaratkan seperti akar sebuah pohon, bila akarnya kokoh, maka kokohlah pohon tersebut. Sementara syariat diibaratkan sebagai dahan dari pohon, yang merupakan bagian dari aqidah. Jadi, aqidah adalah suatu fundamen dari implementasi syariah.
Apabila aqidah seseorang sudah kuat, ia pasti tidak akan berani melakukan kecurangan dan kemaksiatan. Dalam berdakwah, perubahan pertama yang diseruka oleh Rasul-rasul Allah. Rasulullah saw. memperjuangkan aqidah islam selama 13 tahun di Makkah, kemudian di Madinah untuk menegakkan pilar-pilar tauhid. Jika dianalogikan, keterkaitan syariat dengan Aqidah seperti bagian dari sebuah pohon. Aqidah diibaratkan seperti akar sebuah pohon, bila akarnya kokoh, maka kokohlah pohon tersebut. Sementara syariat diibaratkan sebagai dahan dari pohon, yang merupakan bagian dari aqidah. Jadi, aqidah adalah suatu fundamen dari implementasi syariah.
Ketidakpahaman masyarakat akan aqidah yang benar
dipicu karena motivasi maupun minat masyarakat dalam mengajarkan dan
mempelajari Islam kurang sehingga asyarakat tidak mengenal nilai benar dan
salah dalam implementasi aqidah. Umar bin Khattab r.a berkata, “ sesungguhnya
ikatan simpul Islam akan pudar satu demi satu manakala di dalam Islam terdapat
orang yang tumbuh tanpa mengenal kejahiliyahan.” Faktor lain yang menyebabkan
penyimpangan dalam aqidah adalah Ta’ashshub (fanatik). Biasanya Tawashshub ini
didominasi fanatik terhadap sesuatu yang diwarisi oleh nenek moyang. Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah ; 170 yang artinya, “Dan apabila dikatakan
kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka
menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti
juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan
tidak mendapat petunjuk?"
Taqlid buta, yaitu berpedoman pada pendapat manusia
dalam maslah aqidah tanpa mengetahui dalil yang benar. hal tersebut terjadi
pada golongan mu’tazilah yang mengikuti imam yang sesat dari orang-orang
sebelum mereka. Ghulluw (berlebihan) dalam mencintai orang-orang yang shalih,
para wali Allah juga dapat melatarbelakangi penyimpangan dalam aqidah.
Pasalnya, secara tidak langsung, mereka telah menempatkan derajat orang-orang
shalih yang diberi karamah oleh Allah tersebut dengan berlebihan. Aplikasi yang
dilakukan mialnya seperti berdoa di makam para wali Allah dengan mengharapkan
sesuatu hal yang mendatangkan kebaikan melalui wali Allah tersebut dan
perbuatan lainnya yang mengacu pada kesyirikan.
Implementasi aqidah yang harus dimiliki oleh setiap
muslim adalah aqidah salaf. Aqidah salaf adalah keyakinan terhadap ajaran agama
islam sesuai dengan keyakinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya.[13]Aqidah
salaf adalah istilah yang diambil dari dua kata; aqidah dan salaf. Kata aqidah
dalam bahasa Arab memiliki pengertian ikatan, keyakinan dan kepastian. Aqidah
adalah sesuatu yang diyakini hatinya dengan pasti dan mengikat, baik itu benar
ataupun batil. Sedangkan dalam istilah para ulama, aqidah adalah
perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menerimanya dengan
penuh hingga menjadi satu keyakinan yang tidak dicampuri keraguan dan
kebimbangan.[14]
Sementara kata salaf, Al Ghazali berkata dalam kitab Iljaamul
Awaam An Ilmil Kalaam hal 62 ketika mendefinisikan kata As Salaf: “Saya
maksudkan adalah madzhab sahabat dan tabiin.” Al Baijuuri berkata dalam kitab Syarah
Jauharu At Tauhid hal. 111: “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang yang
terdahulu, yaitu para Nabi, sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.” Rasulullah saw.
bersabda , “Sesungguhnya sebaik-baik pendahulu (salaf ) bagimu adalah aku.”[15]
Allah
menciptakan makhluk agar mereka bisa mengenalnya.[16]
Allah menjelaskan hal ini dalam surat Al-A’raf :172-173, yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)",
atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini
adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau
akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?"
Dalam mengenal Allah, kita harus
mengenal aqidah yang benar. Mengenal aqidah yang
benar merupakan satu keharusan bagi setiap muslim. Apalagi di masa seperti ini,
masa yang penuh dengan ujian dan cobaan hidup. Disamping juga dipenuhi usaha
penyesatan dan pemurtadan baik melalui kebidahan yang samar sampai kepada
kekufuran yang paling jelas.[17] I’tiqad Ahlus Sunnah adalah beriman
kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, kebangkitan setelah
kematian, dan beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk.[18]
Iman dari segi bahasa menurut banyak kalangan adalah membenarkan. Iman adalah pengakuan yang berkonsekuensi kepada sikap menerima berita dan tunduk kepada hukum. Keimanan itu merupakan ‘aqidah dan pokok, yang diatasnya berdiri syari’at Islam.[19] Keimanan yang mantap dapat terwujud dengan adanya perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah agar terwujudnya rasa penghambaan diri kepada Allah, Sang Pencipta. Selanjutnya, faktor pendidikan formal dan informal dan media juga sangan mempengaruhi kekuatan aqidah seseorang.
Iman dari segi bahasa menurut banyak kalangan adalah membenarkan. Iman adalah pengakuan yang berkonsekuensi kepada sikap menerima berita dan tunduk kepada hukum. Keimanan itu merupakan ‘aqidah dan pokok, yang diatasnya berdiri syari’at Islam.[19] Keimanan yang mantap dapat terwujud dengan adanya perenungan terhadap ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat Qur’aniyah agar terwujudnya rasa penghambaan diri kepada Allah, Sang Pencipta. Selanjutnya, faktor pendidikan formal dan informal dan media juga sangan mempengaruhi kekuatan aqidah seseorang.
Akidah akan menuntun
manusia dalam pemikiran, kejiwaan, social, dan sisi akhlak. Adanya aqidah
sebagai kontrol sosial dalam akhlak akan menjadi jalan menuju masyarakat madani
yang unggul. Aqidah (tauhid) berimplikasi pada ibadah dan muamalah. Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga
menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu:
1.
Manusia dilarang “menciptakan
agama, termasuk system ibadah dan tata caranya, karena masalah agama dan ibadah
adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu
kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah.Sedang
setiap bid’ah adalah sesat.
2.
Adanya kebebasan dasar dalam
menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah,
seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan, yang
dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan
tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah.
Masyarakat yang
memiliki tingkat keilmuan dan mengamalkan syariat dengan baik merupakan ciri
masyarakat madani, yang merupakan wujud dari kehidupan masyarakat sejahtera
yang memiliki fondasi aqidah yang kokoh. Begitu pula sebaliknya, jika
masyarakat tidak memiliki pemahaman terhadap aqidah yang benar,
penyimpangan-penyimpangan dalam aqidah dapat terjadi. Peningkatan akhlak umat
Islam dapat dilihat dari sejauh mana perhatian pemeritah dan masyarakat bekerjasama
memperbaiki aqidah umat Islam, terutama melalui sector pendidikan. Dalam hal
ini, lembaga pendidikan dayah dan pesantren di Aceh harus dioptimalkan fungsi
dan kedudukannya agar terciptnya kaderisasi ulama yang dapat menggandeng umat
dalam memperkokoh aqidah. Perhatian pemerintah lebih komprehensif dalam
mengoptimalkan eksistensi para ulama di tengah-tengah masyarakat agar
terciptanya masyarakat yang terarah dalam agama dan sejahtera.
Upaya
pembentukan aqidah yang kokoh dapat dimulai dari mengubah sistem pendidikan
yang benar-benar Islami. Setiap keluarga harus menanamkan sikap dan perilaku
islami dalam kehidupan. Pemerintah serta masyarakat harus mengontrol
perkembangan pendidikan dari upaya pihak tertentu yang menyisipkan sistem yang
mendangkalkan aqidah. Pemerintah harus mencanangkan program wajib belajar ilmu
agama tidak hanya bagi pendidikan formal tetapi juga dalam masyarakat melakukan
kegiatan bimbingan dan penyuluhan hokum Islam dalam masyarakat .melalui pengajian
rutin dan tabligh akbar. Kegiatan tersebut akan menjadi mediator masyarakat
memperoleh ilmu agama sekaligus membentengi diri dari upaya penyimpangan
aqidah. Apabila optimalisasi penanaman nilai aqidah salaf dalam sector
pendidikan terus digalakkan dan diterapkan, maka masyarakat akan terarah
sehingga terciptalah sebuah kondisi Aceh yang kondusif dan sejahtera, Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur.
[1] Hasbi
Amiruddin, Ulama Dayah, Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya
Foundation, 2003), h. 1.
[2]
Muslim A. Djalil, dalam artikel meunasah sebagai
lembaga pendidikan Islam di Aceh.
[3] Hasyimi, Sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Bulan
Bintang, 1990, hlm. 192
[4]
Amiruddin,
Ulama Dayah, h. 36 – 37.
[5] Haidar
Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta:
Tiara Wacana, 2001), h. 7
[6] T. Syamsuddin, “Peranan
Meunasah Sebagai Pusat Pendidikan dalam Masyarakat Aceh”, Majalah
Jeumala, diterbitkan oleh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA),
No. 5 (Maret – April 1993), hlm. 17
[7]
A.
Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), h. 104.
[8]
Amiruddin,
Pranata Islam, h. 119.
[9] Amiruddin,
Ulama Dayah, h. 42.
[10] Sayed
Azhar dalam artikel KRISTENISASI/MISIONARIS; Realitas dan Solusinya.
[11] Fatwa MPU Aceh nomor 5 tahun 2010 tentang pendangkalan aqidah dan
pemurtadan
[12] Ibid.
[13] Kholid Syamhudi, Lc. dalam Aqidah wasithiyah, penjelasan Aqidah
Islam (bagian 1)
[14] Al-Wajiz fi Aqidah as-Salaf hal. 20
[15] HSR Muslim No. 2450
[16] Aqidah Khalaf dan Salaf, DR. Yusuf Qaradhawi (Pustaka Al-Kautsar:
2009) h. 9
[17] Kholid Syamhudi, Lc. dalam Aqidah wasithiyah, penjelasan Aqidah
Islam (bagian 1)
[18]Buku Induk Akidah Islam Syarah
‘Aqidah Wasithiyah oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (Pustaka Sahifa:
2011), hlm. 85
[19]Sayid Sabiq dalam Aqidah
Islam, pola Hidup manusia beriman. (Perbit Diponegoro: 2010) h. 5
Sumber foto: http://kfk.kompas.com/kfk/view/69226
Sumber foto: http://kfk.kompas.com/kfk/view/69226
2 komentar:
Ditunggu tulisan selanjutnya yg berkaitan dengan tema ini. (y)
Ditunggu tulisan selanjutnya yg berkaitan dengan tema ini. (y)
Post a Comment