Seorang anak terlihat melintasi trotoar jalan raya. Kakinya yang tak beralas perlahan berjalan menyusuri jalan raya yang padat. Kemacetan yang panjang menjadi rezeki nomplok baginya. Hari ini ia dapat puluhan lembar uang yang beragam warnanya. Beberapa lembar uang di selipkan ke kantong celana, dan beberapa recehan dibiarkan tertinggal di kaleng uang. profesinya menjadi peminta-minta sudah dilakoninya sejak kecil. Di usianya yang menginjak 10 tahun, seharusnya ia mengecap pendidikan di bangku sekolah, mendengarkan ilmu ini dan itu. Namun justru sebaliknya. Ia melalui hari-harinya mendengarkan celotehan orang-orang 'beruang' atau pun amarah pemilik 'usaha' tempat ia bekerja, bila tak berhasil membawa pulang 'koin-koin emas' dari jalanan.
"Hoi, Son! kau ini,
setoran kacau kali!! masak cuman segini? apa perlu aku gebukin, biar orang iba?
lantas aku kaya raya? besok malam, kalau aku jemput di persimpangan, aku mau
liat, uang merah bergambar Soekarno.. ngertii??" bentak Bang Boy, seorang
petinggi di 'perusahaan swasta' tempat Son bekerja.
"Soekarno itu siapa ya, Bang?
tanya Son dengan mata berbinar, tanda ingin tahu.
"Soekarno aja kau tak tahu?
hahaha. Soekarno itu proklamator kemerdekaan kita, Son. Ku ulangi lagi, PROKLAMATOR KEMERDEKAAN.
Proklamator kemerdekaan bangsa. Ah.. Percuma ku bilang. Kau pun tak mengerti.
Aku gini-gini pernah sekolah walau pun sampe kelas 4 SD. Kau pun. Ah,
Masak itu aja nggak tahu, Haahaha. Udah, sekarang masuk ke dalam. Besok shubuh
kau harus kerja lagi. Persimpangan menunggu kau, Son!" ujar bang Boy
sembari melotot ke arahnya.
Son mengangguk pelan tanda
mengerti. Wajahnya nampak tegar, namun sebenarnya hatinya terbakar amarah.
Marah, bukan karena kondisi pelik yang dihadapinya. Marah, bukan karena
kata-kata bang Boy yang tajam. Batinnya meledak-ledak karena kata-kata
Proklamator Kemerdekaan. Dua kata yang membuat tidur malamnya menjadi tak
nyenyak.
"Hey.. dilarang
meminta-minta di sini. Ini sekolah, bukan pasar."
"Pak, maaf. Saya ingin bertemu
pak Guru."
"Tidak bisa. Pak Guru sedang
mengajar."
"Tapi, Pak.."
"Sudah-sudah. Pergi sana."
Tangan Son menggepal geram. Mahalnya
harga seragam membuatnya tak bisa bertemu seorang guru. Menginjak halaman
sekolah saja tak bisa. Ia duduk di depan gerbang sekolah, menunggu seorang
guru, yang bahkan tak bisa dibayangkan bagaimana orangnya.
"Kamu
ngapain, duduk di situ? nanti dikira kamu ngemis lagi." kata pak Dul,
seorang penjual cendol yang terlihat sibuk membungkus cendol dagangannya.
"Mau ketemu guru, pak. Saya mau tanya, prolamator
kemerdekaan itu apa? Soekarno itu siapa? dan..."
"Nak, kalau mau tanya begituan,
kamu harus duduk di ruang sana. Di bangku sekolah. Oya, nanti penjaga keamanan yang tadi datang lagi ke sini. Saya sarankan kamu segera
pergi sebelum kamu di tegur lagi. Coba adik pergi ke loper koran di lampu merah
sana, mungkin dia tahu."
"Iya,
makasih, Pak"
Son pun pergi dari sekolah itu
dengan banyak pertanyaan yang menari-nari di kepalanya. Siang yang
terik tak membuat semangatnya surut meski ia tak punya topi dan alas kaki. Ia
melangkah cepat menuju ke persimpangan. Namun kali ini tidak untuk
mengemis. Hari ini ia lari dari tugasnya untuk mengemis. Lembaran
uang yang ia simpan dari hasil mengemis kemarin, rasanya cukup untuk
menyelamatkan dirinya dari amarah bang Boy.
"Bang, saya mau
tanya. Soekarno itu siapa, bang? Pelopor kemerdekaan itu
bagaimana?"
"Haha. Kenapa tanyanya
gitu,dek? Kamu sakit atau salah makan?"
"Saya hanya ngin tahu, Bang,"
"Nggak sanggup aku,
pertanyaanmu itu susah,"
"Tapi, abang kan loper koran,
pasti bisa baca,"
"Dek, pendidikan itu bukan
milik anak jalanan. Ada memang satu-dua sekolah gratis. Tapi mana bisa aku sekolah. Kapan aku kerja, kapan sekolah. Haha. yakin aku, kau pasti salah
minum obat ni.. Sekarang, coba pergi ke gedung itu, di sana kau akan dapat jawabannya. Lagi ada jurnalis di sana."
"Jurnalis itu nama orang ya,
bang? dimana saya bisa temui? apa bisa sekarang?"
"Sudah, aku lagi kerja. cepat
ke gedung itu saja, ada sekelompok wartawan yang lagi nunggu pak mentri keluar,"
"Oh makasih, Bang,"
Segenggam harapan baru membuatnya
bersemangat. Ia mempercepat langkahnya menuju sekelompok jurnalis yang sedang
duduk di depan sebuah kantor. Perlahan ia pun menghampiri mereka. Beberapa
langkah lagi, rasa penasarannya akan terobati. Hanya beberapa langkah lagi.
"Itu bapak menteri sudah
keluar! Ayo, kita ke sana!" ujar salah seorang wartawan.
Sekelompok orang yang disebut
jurnalis itu berlalu pergi, meninggalkan Son bersama harapannya yang
mulai pupus. Mereka tidak melihat Son. Posisi son memang sudah dekat,
namun percuma saja. Son bersembunyi di balik pohon besar. Ia takut melangkah.
Hari pun mulai gelap. Matahari
hendak meninggalkan siang. Azan magrib pun mulai berkumandang. Son tak
tahu harus kemana. Ia benci rasa penasaran. Ia harus segera menemukan
jawabannya. Jika tidak, lelap tidur Son akan terusik dengan pertanyaan yang
menghantui.
Rasa putus asa membuat Son
terus berjalan hingga tersesat. Son tak tahu jalan, selain
jalan dari rumah bang Boy menuju tempat kerjanya.
Kakinya terus melangkah hingga
sampai ke depan sebuah masjid. Kedua kaki kecilnya kini berdiri tegap
diantara kaki-kaki lain yang berdiri rapi. Meski Son tak bisa baca dan
tulis, namun ia bisa shalat dan hafal beberapa bacaan shalat. Seorang Ustadz
pernah ia temui karena ia penasaran dengan kata shalat yang dilontarkan oleh
seorang pedagang.
"Kenapa kedainya tutup,
bang?"
"Kni waktu shalat jum'at dek,
nggak boleh jualan.
Setelah shalat, Son kembali
melangkah, berjalan mencari jawaban. Namun dari tadi pagi, tak ada sebutir
nasi pun yang masuk ke perutnya. Ia lalu menyusuri beberapa rumah
makan di pinggir jalan. Ia pun masuk dan memesan sepiring nasi. Lima lembar
uang bergambar Pattimura ia keluarkan.
"Ini uangnya, kak,"
"Kok cepat sekali bayar, dik?
belum makan kan?"
"Saya takut, kalau saya tak
bayar sekarang, apa yang saya makan nanti tidak baik bagi tubuh saya kak,"
"Mengapa begitu?"
"Saya tidak mau berhutang kak,"
Ia mengenal sosok orang di
uang itu lagi-lagi dari bang Boy. Bang Boy pernah menyuruhnya menukar uang
bergambar Pattimura dengan uang bergampar Otto Iskandar di kedai. Bang Boy
memang suka menyebut nominal uang dengan gambar yang tertera di uang
tersebut. Pengetahuan yang diperolehnya di bangku SD dulu hampir
seluruhnya diaplikasikan. Bang Boy juga terkadang
mengajarkan bagaimana tata krama, seperti tidak buang sampah sembarangan,
tidak datang terlambat, dan lainnya. Meski pun nada dengan suaranya
yang tinggi dan emosinya sering meledak-ledak, berbagai petuah
diucapkannya.
Son juga belajar banyak dari
lingkungan jalanan, yang mungkin secara tidak langsung mendidiknya. Dulu
sewaktu bayi hingga berusia 5 tahun, ia dibawa mengemis oleh seorang
ibu yang mengajarkan pendidikan karakter yang baik padanya. Hanya satu
sikap yang kurang baik, kebergantungan ibu tersebut pada profesi mengemis.
"Negeri ini memang krisis
kepercayaan. Aku bosan lihat spanduk kampanye itu,"
"Iya lah, 'orang-orang besar'
itu banyak yang sudah terbukti melakukan korupsi,"
"Kasihan anak-anak mereka,
makan dengan hasil 'rampokan' uang rakyat. Rezeki yang tidak halal,"
"Iya, mereka kenyang, tapi
mereka lapar,"
Ketika makan, ia mendengar
percakapan dua pemuda yang makan di meja sebelahnya.Setelah
bulir-bulir terakhir nasi di piringnya habis, ia pun menghampiri
mereka.
"Bang, Maaf. Tadi saya
mendengar percakapan abang. Dimana saya bisa temui orang-orang besar itu?"
"Hahaha.. Ngapain kamu, mau
digebukin?"
"Orang-orang besar itu orang
yang badannya besar ya, bang?"
"Bukan dek, perutnya yang
besar. Suka makan uang rakyat. Hahaha. Tapi ada juga pejabat yang jujur dan
memperjuangkan nasib rakyat."
"Pejabat itu dimana bang?"
"Ya di rumahnya, lah.
hahahahaha"
"Maaf bang, rumahnya dimana,
ya?"
"Itu-tu,yang pagarnya tinggi.
Rumah mewah itu rumah dinas mereka."
"Oh, begitu bang."
"Oya bang, satu lagi. Soekarno
itu siapa? proklamator kemerdekaan itu bagaimana?"
"Itu artinya, orang yang
mewakili rakyat mengumumkan kemerdekaan Indonesia, Soekarno adalah
bapak yang mewakili rakyat
mencapai kata merdeka. Kalau ingin merdeka, ya harus diungkapkan kepada dunia
melalui proklamasi."
"Ooh begitu, bang. Terima kasih
bang."
"Bukan apa-aapa dik. Bilang
makasih sama orang yang berjasa, kami tidak memberi banyak hal."
"Iya pokoknya makasih ya bang.
Saya permisi"
Son terlihat puas dengan
jawaban beberapa pemuda yang diantaranya menyebut dirinya adalah mahasiswa.
Namun, raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang baru.
"Kak, pesan nasinya sebungkus
lagi ya. Pakai kotak ya, kak."
"Iya dik."
"Ohiya kak, kakak pandai
menulis?"
“Bisa, dik."
"Tolong tuliskan beberapa
kalimat untuk saya. Nanti saya beritahu kak."
Son melangkah menuju rumah berpagar
tinggi yang dikatakan oleh kelompok pemuda tadi. Suasana rumah terlihat
lenggang. Berkali-kali ia mengetuk pintu namun tak ada yang menjawab. Ia pun
masuk, dan meletakkan nasi bungkus yang dibelinya tadi di depan pintu rumah
mewah itu. Tak ada orang di sana, namun lampu terlihat menyala dari dalam
rumah.
Setelah itu Son keluar dari
perkarangan rumah. Selang beberapa menit, ia tiba-tiba ditangkap oleh
sekelompok orang bersenjata lengkap. Beberapa orang lainnya terlihat masuk
ke perkarangan rumah dengan pakaian lengkap. Wajah mereka tertutup pengaman
wajah. Mereka mengamankan bungkusan nasi yang dibawa Son tadi dengan sangat
hati-hati.
"Amankan dia, bawa masuk mobil,"
"Pak, ada apa? Saya mau dibawa
kemana?"
"Maaf, dik. Kami harus
memeriksa apa yang adik bawa tadi. Rumah ini sedang diteror. Ada kemungkinan
rumah ini mendapat kiriman bom,"
"Tapi, Pak. saya tidak bawa bom.
Saya.."
"Adik bisa jelaskan nanti di
sana,"
Jiwa Son berkecambuk. Ia tak terima dengan situasi ini.
Ia tak bersalah namun dianggap bersalah. Son ingin berteriak dengan
lantang. Namun jiwanya kecut. Ia tak kecut dengan senjata. Ia tenggelam dalam
rasa bersalah terhadap dirinya sendiri yang tak bisa bicara. Tak bisa
menyatakan kebenaran. Namun tak lama setelah beberapa ratus meter mobil
itu melaju, Son pun mencoba melawan.
"Pak, ini bukan bom. hanya sebungkus nasi. ini saya
hadiahkan untuk pejabat yang tinggal di sana. Sayaa ingin..”
“Jelaskan ini nanti” seorang berpakaian serba hitam
berpengaman wajah melototi Son dengan nada bicara setengah membentak.
"Ini bukaan BOM, Pak!”
Sesuatu yang tajam keluar secara spontan dari kantong
depan seragam salah seorang pria bertubuh tegap itu.
‘Tup.’
Benda runcing itu dipaksa masuk ke kulit Son. Cairan
bening dalam tabung suntik berukuran kecil itu perlahan mengalir masuk ke dalam
kulit lusuh Son. Tubuhnya mulai melemah, terjerembab di sudut mobil. Suara Son
lirih perlahan menghilang bersama angin malam yang berhembus melalui sela
jendela mobil yang tidak tertutup rapat. Beberapa anak sungai mengalir dari
pelupuk mata Son yang mulai tertutup. Tangannya yang sedari tadi tergepal
menggenggam sesuatu, mulai merenggang. Selembar kertas putih yang telah remuk
terjatuh dari telapak tangannya. Ya, kertas putih. Saksi bisu yang dapat
mengatakan bahwa itu bukan bom.
***
0 komentar:
Post a Comment