Saturday 11 January 2014

Lanjut atau Berhenti?

BY Unknown IN No comments


Sedih, terpukul, pilu, rindu, sakit, senang, sedih, susah, benci, marah, semuanya. Terngiang di fikiran beberapa potong kata yang memang benar, namun sulit tuk ku terima. Ku tuangkan segala rasa yang bercampur aduk itu di kertas ini. sejenak ku merenung, apakah ini pilihan yang tepat? atau, ku lukis saja segala rasa ini diatas kanvas atau di atas kertas? Terkadang dunia bukan tak mau mendengarkan, namun hati terlalu pilu tuk bercerita.

Ini kisah tentang seorang gadis, sebut saja namanya Ani. Ia tidak memiliki ilmu yang mumpuni di bidang jurnalistik. Namun, tekadnya yang kuat tak membuat nya mundur, tak menyerah pada kata "aku nggak bisa, aku nggak layak". Kata-kata yang dapat membunuh cita-citanya.
"kamu yakin, mau jadi wartawan? kerjaan wartawan tu berat, capek."
"wartawan itu kerja di lapangan. bakal ribet kalo untuk kamu. secara penampilan juga kamu harus sesuaikan dengan kerja lapangan" 
"kamu kuliah di Matematika, ngapain jadi wartawan."
"kalau mau jadi wartawan, kenapa nggak kuliah di sospol saja?"

Terkadang Ani menjawab pernyataan tersebut dengan diam saja. menelan pahit, ketika ia tidak didukung oleh orang-orang yang ia sayang. Namun terkadang Ani menjawab penyataan-pertanyaan serupa dengan respon yang biasa saja.

"yaa.. Itu cita-cita saya, kak"
"untuk jadi wartawan yang dibutuhkan itu skill, kalo penampilan memang penting. saya rasa, selama kita berbusana sopan (yang sesuai dengan keyakinan), ya nggak masalah, kak."

Hal yang menjadi konflik baru dalam diri Ani adalah hasil studi Ani yang tidak memuaskan. Ani pun semakin menggalau ketika prestasinya di kampus tidak sesuai dengan harapannya. IPK yang ia peroleh semester lalu membuatnya harus memeras keringat. lagi-lagi, ia sadar dan harus mempertimbangkan, jika ia memilih untuk aktif di organisasi, ia harus memeras keringat siang dan malam.


Lain halnya dengan keluarga Ani. Mereka tidak memaksa cita-cita Ani harus jadi apa. Itu semua terserah Ani. Namun mereka tidak memperbolehkan Ani untuk terlalu lelah beraktivitas. Ani pun dianjukan untuk tidak mengikuti organisasi atau kegiatan yang dapat membuat Ani tidak sehat, mau pun tidak fokus kuliah. Ani tidak boleh terlalu banyak kegiatan yang berbau organisasi. Ani tidak boleh stress. Ani tidak boleh bersikeras untuk bekerja sampingan. Ani harus fokus kuliah, cepat selesai dan cepaat.. (cepat apa lgi ya?) cepat melanjutkan studi lagi. Ani tidak boleh pergi jauh-jauh. Hal tersebut secara tidak langsung dapat mempersempit ruang gerak Ani dalam berorganisasi. Hal tersebut lah yang membuat Ani harus mempertimbangkan, "aku lanjut atau berhenti?"
Sebenarnya Ani pernah mulai melupakan cita-citanya menjadi wartawan. Namun suatu hari, keinginan itu kembali ketika tak sengaja kakinya melangkah ke tempat pendaftaran anggota baru suatu lembaga Pers. Keinginan itu semakin menggebu-gebu setelah ia mengikuti pelatihannya. Ia merasa sangat nyaman dengan lingkungan barunya. Lingkungan itu adalah 'ruang kerja' yang Ani cari selama ini.

Ani pernah berniat untuk benar-benar mengurungkan cita-citanya itu. Namun, ia sadar. jika ia mengurungkan niatnya itu, secara tidak langsung ia akan melukai dirinya sendiri. Ia akan membangkitkan konflik dalam dirinya sendiri, terombang-ambing dalam kemunafikan dan kebohongan terhadap diri sendiri. Hal yang membuat Ani bertahan adalah cerita mamanya tentang wartawan. ketika Ani dan mamanya sedang menonton TV, mama Ani pernah berujar, "stasiun TV ini lagi buka pendaftaran reporter (jurnalis), lho. kalo bisa, Ani ikut aja, Nak." Mungkin sejak saat itu, tertanam dalam benak Ani banhwa Mamanya suka pada profesi wartawan. Terlebih lagi, di masa kecil,  eksistensi seorang wartawan yang 'ditekan' telah menarik minat Ani untuk menggelutinya. Ani telah melihat bagaimana rakyat Aceh berjuang,  mempperjuangkan aspirasi melalui berbagai cara, salah satunya referendum. Di waktu itu, Ani memang masih belia, namun potret kisah itu begitu apik tersimpan di memori fikiran Ani. Saat Itu Ani melihat para pemuda beramai-ramai pergi ke kota (ibukota) menggunakan atribut demo dan menaiki mobil truk, beramai2 menyuarakan kebenaran dan keadilan. potret kala itu masih benar-benar melekat di fikiran Ani. Saat itu, seingat Ani, Ia dan oranglainnya yang tidak ikut, bersembunyi di dalam rumah. Suasana mencekam. Mungkin tidak boleh atau tidak berani keluar. Ani tak ingin negeri ini terlibat konflik lagi. 


Ani ingin kebenaran itu terungkap melalui penyiaran, agar semua orang tahu, kebenaran dengan sejelas-jelasnya tanpa harus turun ke kota dulu. Ani ingin mewakili rakyat, memegang pena, menjadi kuli tinta, memperjuangkan kebenaran, keadilan. Ani juga tak ingin lagi melihat resiko sebuah suara itu ditanggung oleh rakyat. rakyat menjadi sasaran ketika kebenaran yang disampaikan itu menjadi polemik bagi pihak tertentu. Cukup ia saja yang turun ke lapangan, melaporkan, menyampaikan secara lugas fakta yang ada. cukup ia saja yang mewakili rakyat utuk berbicara, yang mana yang benar dan mana yang salah. Jika memang ada yang harus dikorbankan karena memperjuangkan kebenaran, Ani bersedia. Sudah cukup rakyat menderita. Sudah cukup kebenaran itu dibolak-balik. hal tersebut menjadi motivasi kedua Ani untuk bertahan pada cita-citanya menjadi wartawan.

Ani tidak menganggap menjadi wartawan itu merupakan sebuah profesi. Ya, profesi, yang banyak orang mengartikan bajwa profesi itu sesuatu yang hanya sekedar menghasilkan uang. tidak. bukan itu. Namun ini lah sarana jihadnya. Ini sarana dimana kebenaran akan menang dan kebatilan akan hancur. Meski ketika ia menyatakan sebuah kebenaran, akan ada mata-mata yang berbinar dan bahagia dan ada pula mata yang sinis dan penuh amarah. Ani akan fokus pada mata-mata yang akan bahagia dan tan peduli pada mata yang menatapnya dengan tercela. Ya, menjadi wartawan. Ani merasa nyaman dan bahagia bisa menyandang predikat itu.

Kini Ani berjalan di atas kerikil tajam yang mencoba menghalangi langkahnya. Sementara cita-cita itu menunggu di ujung jalan yang tak tahu dimana. Cita-cita  berbuah surga menantinya. Namun dapat pula berbuah neraka, bila ia mengkhianati komitmennya akan kebenaran dan ketulusan. Saat ini Ani sedang berdiri, berhenti sejenak, memikirkan, apakah melanjutkan perjalanan, atau pulang? Ani merasa lelah. Namun ia melawan lelah dengan semangat; "Waktuku mungkin tak lama lagi. Saat ini lah masa dimana aku harus berlelah-lelah, memperjuangkan cita-cita, meraih rdha-Nya. Ketika kesempatan ini habis masanya, disaat itu lah buah dari apa yng aku tanam akan ku petik."

Ani sekarang sedang berhenti sejenak. Bukan karena kaki yang lelah berjalan, bukan karena hati yang kecut karena kata 'mereka'. Namun Ani hanya sedang berpikir, akankah sekarang waktu yang tepat untuk mimpi ini?  Akankah langkahnya akan menuai ridha?


Ini bukan fiksi. Ini hanya kisah sederhana berdasarkan realita. Curahan hati seseorang yang sedang mempertimbangkan, baik-tidaknya sebuah keputusan. Kisah seseorang yang sedang belajar untuk tidak lagi labil dan bisa bersikap dewasa. Semoga bermanfaat.
Ditulis pada 21 November 2013
*Hilda_RI

Sumber Foto: http://rangtalu.files.wordpress.com/2010/07/kaki.jpg

0 komentar: