Saya pernah melakukan survey kecil-kecilan tentang eksistensi permainan tradisional. Survey online yang melibatkan lebih dari 200 responder tersebut sebenarnya saya buat karena tugas kuliah. Latar belakangnya awalnya muncul dari ide kakak saya yang prihatin melihat permainan tradisional yang mulai ditinggalkan. Hasil survey online tersebut menunjukkan bahwa permainan tradisional memang hampir punah. Banyak responder yang mengaku jarang memainkan permainan tradisional karena berbagai kesibukan dan minimnya waktu luang. Namun, yang ditakutkan di sini adalah tidak adanya regenerasi permainan tradisional.
Permainan tradisional sesungguhnya mengandung kearifan lokal yang memuat aspek-aspek yang mengasah ketajaman berpikir, kepekaan sosial, dan kesehatan fisik. namun hari ini permainan tradisional lambat laun mulai ditinggalkan. Sungguh disayangkan. Permainan tradisional yang melejitkan potensi anak, eksistensinya mulai tergantikan dengan permainan modern.
-Dulu banyak anak yang menghabiskan waktu luangnya untuk bermain permainan tradisional. Main kelereng, "pet-pet som", main "cato", karet, patok lele, gatok, galah, maen "gamba" dan masih banyak lagi. Kebersamaan bersama teman-teman menjadi momen tak terlupakan. Namun di era globalisasi ini, banyak anak yang bermain, tertawa , kesal, emosi, bahkan menangis sekalipun dengan benda mati berlayar itu. ya, menghabiskan waktu luang dengan benda yang disebut playstasion, computer, dan lainnya.*
-Dulu, di malam lebaran, anak-anak dan orang dewasa merayakan malam hari raya takbiran keliling desa, menggunakan obor atau senter yang terbuat dari batok kelapa, dan meriuhkan malam lebaran denga suara 'beudee trieng'. Sekarang hal-hal tersebut sudah jarang dilakukan. Banyak yang main lilin dan meriuhkan suasana lebaran dengan suara mercon atau bermain senapan mainan. Pun sekarang, memang sama juga seperti dulu, takbiran keliling kampung. Namun bedanya, kalau takbiran jaman sekarang, masing-masing naik motor atau mobil.*
-Dan masih banyak lagi perbedaan 'dulu' dan sekarang'. Semoga arus globalisasi tidak menjadikan kita krisis identitas dan meninggalkan kearifan lokal yang bernilai positif.
Beda Jaman, Beda Kisah-Beda Pupuk, Beda Hasil.
Ya, begitulah kondisinya.
*riset di kampung saya :D
Sumber Foto: sumber foto: izulaela.wordpress.com
0 komentar:
Post a Comment