Matahari hari ini, Kamis, 9 Januari 2014,semakin terik. Pepaduan
kepulan asap kendaraan dan debu di jalan utama lintas kampus melengkapi
suasana siang. Puluhan kendaraan berlalu lalang dengan kecepatan sekitar
30-50 km/jam. Seorang pengendara tampak menepi ke trotoar jalan. Pria
berpakaian serba hitam itu memarkirkan kendaraannya di depan seorang
wanita yang terlihat sedang menunggunya.
“Piyoh ( Mampir, -pen).” Sambut wanita paruh baya itu sembari melempar senyum ke arah pria yang menghampirinya.
Pria
itu merapatkan tubuhnya pada meja kayuberukuran kecil di hadapannya.
Telunjuknya mengarah pada sebuah jambu biji yangnanum yang berukutan
paling besar.
“Nyo Padum saboh? (Ini berapa harganya satu,-pen)?”
“Yang besar 15 ribu,” jawab Nurmani, warga Lhoong Raya yang kerap berjualan di tepi jalan lintas kampus itu.
“15
ribu?” air muka pria berpostur tinggi sekitar 170 cm itu tampak
setengah terkejut. Ia kemudian melirik ke beberapa jambu biji lain yang
tersusun rapi.
“Yang kecil 10 ribu,” Wanita berkulit sawo matang itu bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke arah pria brewokan itu.
“10 ribu?” pria itu kembali bertanya dengan nada keheranan.
Laki-laki berhelm hitam itu mengambil dua buah jambu biji. Yang satu berukuran agak besar, sementara lainnya lebih kecil.
“2 buah 15, boleh?” la tampak menimang-nimang delima pilihannya itu.
“Yang ini boleh, bang. Kalau yang itu nggak bisa saya kasih. Hana raseuki tanyo (Tidak rejeki kami,-pen).”
Ujar Nurmani dengan intonasi pelan, lirih.Ia tampak pasrah.
“Oh,
nggak jadi beli.” Pria brewokan itupun meletakkan jambu ranum itu di
atas meja. Ia bergegas menyalakan sepeda motor dan berlalu dari tempat
itu.
Sepeninggal calon pembeli tadi, tangan Nurmani
dengan cekatan merapikan kembali jambu biji dagangannya. Ia kembali
memandang ke badan jalan, menunggu satu-dua pembeli yang tertarik pada
salah satu buah yang ia jajakan.
0 komentar:
Post a Comment